Sisinfo TNI AL Interoperability data link Haneg


SISTEM INFORMASI TNI AL DALAM RANGKA INTEROPERABILITY DATA LINK PERTAHANAN NEGARA
Dr. Supartono, Dr. I Wayan Medio, Dr. Moh. Halkis dan Dr. Yusnaldi

1. Pendahuluan

Esensi Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara adalah upaya untuk mengintegrasikan sistem informasi dilingkungan Kementerian Pertahanan termasuk Mabes TNI AL. Upaya tersebut merupakan langkah strategis dalam bidang penguasaan data informasi dalam mendukung Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal), termasuk sampai pada level Panglima TNI dan Presiden. Langkah seperti ini menurut Stuart H. Starr akan mendapatkan tantangan yang serius karena perbedaan konsep operasi dan budaya manajemen tiap bagian, untuk itu interoperabilitas merupakan upaya yang perlu dilakukan terus menerus.

Interoperability bukan hanya teknis sambung-putus jaringan data, tapi menggambarkan strategi dan capability. Generasi ke-empat perang yang didominasi oleh virtual reality, Michel Foucault menggambarkan tidak ada sistem yang dapat berlaku tunggal, tidak ada yang dapat menyatukan seluruh bagian-bagian, tapi system by system. Suatu zaman kebenaran menjadi domain wakil Tuhan di muka bumi, dialah sang raja, kemudian negara sang subjek dalam era perang generasi kedua, dan ketiga berubah menjadi “kekuasaan yang tersebar ada dimana-mana, teknologi informasi menjadi penentu”. Saat ini tidak hanya penguasaan teknologi komunikasi, tapi epistemik publik mencair menjadi kekuatan non-state.

Bagaimanapun, sebagai wadah kehidupan bersama, negara harus diselamatkan. Kekuasaan bisa terbagi, namun sistem terus bekerja dalam membangun interaksi dalam suatu kesatuan. Untuk itu manajemen sistem informasi merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pengelolaan Pertahanan Negara. Menurut Sun Tzu, “jika anda tidak tahu dengan informasi kekuatan mu, dan tidak tahu dengan dengan kekuatan lawan, maka anda akan kalah dalam setiap kali pertempuran. Kalau anda tahu dengan kemampuan pasukan anda, dan tidak tahu dengan kekuatan lawan, maka perang kemungkinan akan berimbang. Namun jika anda tahu dengan kekuatan sendiri dan tahu juga dengan kekuatan lawan, maka pasukan anda akan menang pada setiap pertempuran”.

Melihat teori informasi yang dikemukan Sun Tzu ini sesungguhnya negara harus mampu memiliki Bank Data tetang kekuatan sendiri dan kekuatan lawan. Penguasaan informasi sangat menentukan menang dan kalahnya sebuah pertempuran. Karena dengan informasi, maka strategi, taktik dan teknik operasional bias dibangun. Untuk itu intelijen menjadi juru paling depan dalam pertempuran. Tugas intelijen tidak hanya mendapatkan data dan informasi lawan tapi juga mengamankan data dan informasi sendiri, karena jika informasi rahasia jatuh ketangan lawan maka perang akan dimenangkan pihak lawan. Akan tetapi, sekalipun data militer bersifat rahasia para pencari informasi tidak hanya intelijen, tapi juga para wartawan, yang membutuhkan informasi militer, sehingga peran Pusat Penerangan militer menjadi penting.

Pentingnya informasi juga terlihat dari pesan yang diungkapkan oleh Cosmo (1992) dalam film “Sneakers”, There is a war out there, old friend - a World War. And it’s not about whose got the most bullets; It’s about who controls the information. Film yang muncul setelah perang dingin ini, seolah-olah menafikan persenjataan yang bersifat fisik. Pertarungan bergeser dari pengamanan informasi menjadi kontrol terhadap informasi. Media masa menjadi sangat berperan dalam menentukan cara pemberitaan, media apa, kapan sebuah informasi disampaikan, kapan harus dihentikan dan sebagainya.

Pola pengelolaan informasi demikian sangat berpengaruh terhadap situasi politik, ekonomi dan perdagangan global. Perang Timur Tengah diawali dengan terbukanya informasi, kecurangan pelaku kekuasaan, kebencian rakyat tersebar, yang akhirnya terjadi revolusi dengan alasan demokrasi dan HAM. Karena terdapat indikasi keterlibatan Negara asing, maka fenomena tersebut masuk dalam konsep informations warfare, sistem informasi tanpa batas Negara.

Informations warfare secara sederha diartikan sebagai perang informasi- informasi. Terminologi pengucapan kata “informasi-informasi”, atau kata informasi yang diulang tidak lazim diucapkan. Banyak yang lebih senang mengucapkan kata pengganti atau memaknai kata informations warfare dengan “perang informasi”, termasuk karya ilmuwan dan pembuatan doktrin dan Standard Operating Procedure (SOP). Padahal lingkungan yang menyangkut informasi tersebut paling tidak terkait dengan kognitif, fisik dan data itu sendiri. Untuk itu kesalahan dalam memaknai maka lingkungan kognitif akan berdampak terhadap keberadaan data dan lingkungan fisik informasi itu sendiri.

Perubahan pengertian demikian berakibat pergeseran makna dari yang benar-benar menghendaki berbagai informasi-informasi dari berbagai dimensi kehidupan melalui berbagai informasi menjadi perang sarana informasi sehingga informations warfare sulit dibedakan dengan cyber warfare. Secara sederhana sebagian menjawab kalau information warfare adalah perangkat lunak (soft) dan cyber warfare perangkat kerasnya (hard). Kalau ditinjau tambah kesalahan lagi, karena cyber warfare, bukan hanya teknis perangkat keras semata, tapi disana tersimpan persoalan perangkat lunak juga, bahkan cyber dikaitkan dengan virtual reality juga menyangkut persoalan etika.

Sistem informasi dalam era globalisasi menerobos zona negara tanpa batas, dominasi kekuasaan negara-negara ditentukan dalam merebut keunggulan informasi. Persoalannya bukan terletak penting dan tidaknya informasi, namun bagaimana mengelola informasi. Menurut Donald Rumsfeld (tahun...) manusia itu unik.“ there are things we know we know. We also know there are known unknowns; that is to say we know there are some things we do not know. But there are also unknown unknowns -- the ones we don't know we don't know. Untuk itu persoalannya bukan terletak dari data sebagai objek, tapi data juga ditentukan oleh persepsi pelaku. Untuk itu perlu diselidiki bukan hanya konsep operasional yang tergambar dalam doktrin dan budaya manajemen yang tergambar dalam perilaku yang tak terungkap dalam tulisan/ketentuan tertulis. Agar penelitian ini dapat terintegrasi dengan teori universal, peneliti melakukan pembandingan dengan sistem informasi NATO.

Untuk menjamin integrasi sistem informasi dalam mendukung operasi taktis antar Negara, NATO menggunakan interoperability data link standar yang sama, yaitu Link 22 (pembaharuan dari Link 11 dan Link 16. Setiap satuan anggota NATO memiliki ketentuan tentang PAID (Prosedur, Aplikasi, Infrastruktur dan Data) yang sama, sehingga setiap elemen yang terlibat dapat melaksakan komunikasi untuk mendukung terselenggaranya operasi.

2. Rumusan Masalah

Persoalan inti penelitian ini adalah untuk melaksanakan Command and Control (C2), TNI perlu membangun sistem informasi seluruh angkatan secara terintegrasi. TNI, termasuk TNI AL, sebagai sebuah organisasi militer menganut asas satu komando dengan Presiden sebagai Panglima Tertinggi. C2 terkait dengan tata kelola informasi, atau perebutan keunggulan informasi, karena prajurit bekerja menjalankan perintah untuk mendukung kebijakan negara yang perlu perlindungan. Disamping itu pimpinan dapat mengontrol prajurit, khususnya yang terkait dengan tugas-tugas mereka.

Penguasaan informasi merupakan persoalan militer atau negara sepanjang zaman, menyangkut masalah data, knowledge, berdampak strategy, decision dan action. Pada satu sisi, negara ala sosialis harus kuat mendominasi penguasaan informasi namun disisi lain, negara liberal memberi ruang yang luas kepada para pebisnis, LSM, wartawan, dan lain- lain, dalam merebut informasi.

Indonesia memiliki pola sendiri dalam membangun penguasaan atas informasi. Negara memiliki struktur, kemudian dalam elemen struktur penyelenggara negara banyak terdapat bagian-bagian, atau departemen- departemen, institusi-institusi termasuk Departemen Pertahanan. Demikian juga halnya dalam Depertemen Pertahanan yang terkait lansung dengan Mabes TNI, Markas Besar TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Udara. Dalam kondisi darurat perang, semua kekuatan dalam satu Komando di bawah Presiden sebagai Panglima Tertinggi, untuk itu idealnya Command and Control (C2) bekerja dibawah Presiden. Namun sampai saat ini secara formal belum ada prosedur, aplikasi dan instalasi yang menunjukkan C2 dibawah Presiden. Bukan hanya hanya dalam lingkup taktis, dalam menghadapi masalah tersulit - strategipun Presiden belum memiliki PAID (Prosedur, Aplikasi, Infrastruktur dan Data) dalam menjalankan C2 tersebut.

Konsep C2 lahir untuk menjawab persoalan bagaimana komandan mengerahkan semua kekuatan personil, persenjataan dan pendukung untuk memenangkan pertempuran. Konsep ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan cara berpikir manusia, secara simultan; Command, Control, Communications, Computers, Surveillance and Reconnaissance (C4ISR). Di era perang generasi keempat, banyak ahli berpendapat setelah perang dingin usai, perang tidak lagi mengandalkan kekuatan fisik, sehingga perbandingan jumlah personil dan persenjataan tidak lagi relevan untuk dijadikan indikator kekuatan, tapi yang paling menentukan sesungguhnya adalah upaya mendapatkan informasi unggul. Informasi unggul atau keunggulan informasi adalah efek dari informasi yang disampaikan ke atasan dalam menyerang sistem informasi musuh, mempertahanankan sistem informasi sendiri dan membentuk lingkungan informasi. Pertanyaannya adalah, “apakah Indonesia telah memiliki sistem informasi yang dapat merebut keunggulan informasi”. Dugaan awal, Indonesia belum memiliki kesamaan persepsi dalam merumuskan keunggulan informasi, sehingga masih lemah pada tataran doktrin, organisasi, sumberdaya manusia, teknologi maupun implementasinya. Konsep operasi informasi secara umum dasarnya terkait dengan operasi elektronika, operasi cyber,opererasi intelijen, operasi psikologi dan operasi Humas (public affair).

Integritas teritorial diantaranya tergambar dalam efektifitas C2, dalam hal ini Presiden sebagai Panglima Tertinggi, Panglima TNI, dan Kepala Staf Angkatan, mestinya memiliki akses terhadap prajurit di lapangan karena dalam era Perang Informasi merebut keunggulan informasi merupakan sebuah keniscayaan. Informasi yang cepat, akurat dan lengkap sangat diperlukan oleh pimpinan dalam mengambil keputusan. Asumsinya C2 belum optimal dikarena Prosedur, Aplikasi, Infrastruktur dan Data (PAID), tidak sepenuhnya diarahkan bekerja mendukung penuh terjaminnya C2.

Agar dapat memastikan sistem informasi satuan TNI AL tidak terintegrasi dengan Mabes TNI perlu diidentifikasi baik perangkat keras atau peralatan yang digunakan, perangkat lunak berupa atauran main terkait dengan manusia, kepemimpinan, doktrin, Protap dan tradisi yang membuat jarak masing-masing angkatan tersebut, sehingga penelitian ini lebih umum lagi dengan melakukan audit sistem informasi TNI. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana kesiapan Angkatan Laut dalam menghadapi pertahanan era cyber tersebut. Adapun gambaran umum pertahanan cyber dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pertahanan Cyber

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, penelitian ini terbatas pada manajemen (tata kelola) sistem informasi Pertahanan Negara Indonesia, fokus pada Mabes TNI Angkatan Laut, dalam merebut keunggulan informasi. Karena data awal menunjukan bahwa hubungan antar angkatan dan Mabes TNI pada level 0 (independent) dan level 1 (ad hoc) pada saat Latihan Gabungan, maka data diambil pada Disinfolahta = Dinas Informasi Pengolahan Data tentang masalah prosedur dan aplikasi dan Dinas Penerangan Angkatan Laut terkait operasi informasi. Interoperability data link merupakan strategi dalam mendapatkan informasi, namun belum terselenggara secara optimal, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan; mengapa interoperability data link dalam sistem informasi TNI AL tidak dapat terselenggara secara optimal.

Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan PAID (Prosedur, Aplikasi, Infrastruktur dan Data) yang dimiliki TNI AL dalam mendukung tugas Pokok. Karena esensi dari penelitian ini adalah pengembangan sistem informasi, maka metode pendekatan yang digunakan adalah interaksional symbolic, sehingga penelitian ini terkait dengan penelitian Sistem Informasi TNI AL dalam merebut keunggulan informasi.

Inti pertanyaan penelitian ini adalah mengapa TNI Angkatan Laut melihat informasi sebagai sesuatu yang sangat penting sehingga data operasi tidak dapat diintegrasikan dengan Mabes TNI? Untuk itu penting diketahui bagaimana pemahaman Mabesal tentang operasi informasi terkait dengan pengolahan data menjadi informasi dan keputusan pimpinan. Untuk itu, pertanyaan penelitiannya adalah;
a. Bagaimana gambaran konsep operasional yang dimiliki TNI Angkatan Laut tentang operasi informasi yang tergambar dalam sistem informasi TNI AL.
b. Bagaimana Budaya Tata Kelola Informasi TNI Angkatan Laut dalam rangka kesiapsiagaaninformationwarfare.
c. Bagaimana penggunaan radar pantai dalam mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan data dalam membangun interoperabilitas sebagai kapabilitas TNI Angkatan Laut.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian;
a. Menganalisa konsep operasional TNI AL yang diaplikasikan melalui
sistem informasi dalam rangka kesiapsiagaan information warfare.
b. Menganalisa Budaya Tata Kelola Informasi dalam lingkungan TNI Angkatan Laut dalam rangka meningkatkan interoperabilitas sebagai kapabilitas pertahanan negara.
c. Menganalisa penggunaan radar pantai dalam mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan data dalam membangun interoperabilitas sebagai kapabilitas TNI Angkatan Laut.

Manfaat Penelitian.
a. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan TNI, khususnya TNI Angkatan Laut, dalam membuat data link pertahanan Negara
b. Sosialisasi revisi Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara.
c. Mendukung pembaharuan Doktrin TNI AL terutama menyangkut Operasi Informasi.

4. Kerangka Teori dan Tinjauan Pustaka

Oleh karena penelitian terdahulu tentang Interoperability Data Link Pertahanan Negara belum pernah ditemukan, maka Bab ini akan membahas konsep atau teori yang digunakan, untuk lebih memahami persoalan Interoperability data link Pertahanan Negara. Studi ini bersifat konseptual yang memungkinkan dapat diterapkan dalam pengembangan sistem informasi dalam pertahanan negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan pertahanan, diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal bangsa dan negara, dan menanggulangi setiap ancaman yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.

Pertahanan negara pada hakekatnya merupakan segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat, segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh danmenyeluruh.

Kosep Interoperability dan Data Link sebagai pokok bahasan mem- pertemukan konsepsi dalam diri manusia dengan peralatan, sebagai bagian dari teknologi komputer dalam konteks Command, Control, Communication, Computer, Inteligent, Surveilance, and Reconnaisance (C4ISR) Pertahanan Negara. Dilihat dari material, atau fisik yang dimiliki, studi ini lebih menekankan pada aspek elektronik, karena dilihat dari aspek Teknologi Komputer. Padahal studi ini tidak hanya tataran fisik komputer tapi terkait sistem, logika dan pemaknaan kita tentang Data, Informasi, Keputusan Komando, Strategi, Operasi dan Pertahanan Negara. Untuk itu Sistem Informasi merupakan studi bersama dari berbagai kepentingan sehingga Teknologi Komputer dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Ada beberapa konsep dan teori yang menjadi alat analisis kajian ini, yaitu :

4.1. Model Perang Informasi (Information Warfare)

Sebelum memperkenalkan konsep luas informasi yang diterapkan dalam peperangan skala besar, adalah penting untuk memahami peran informasi dalam konflik ditingkat fungsional dasar. Pertimbangkan model satu-directional dasar konflik untuk menggambarkan peran informasi dalam peperangan. (dua kombatan menggunakan elemen dasar ini). Model bisa berlaku untuk dua individu dalam konflik atau dua bangsa menyatakan berperang. Seorang penyerang, A, terlibat perang dengan B, yang harus menentukan bagaimana harus bertindak, atau bereaksi. Tujuan dari A adalah untuk mempengaruhi dan memaksa B untuk bertindak dengan cara yang menguntungkan A. Ini adalah tujuan akhir dari setiap Perang. A berharap lawan akan bertindak dengan cara yang diinginkan, yaitu; menyerah, berbuat salah atau gagal, menarik pasukan, berhenti dari permusuhan, dan sebagainya.

Penyerang mungkin menggunakan kekuatan atau pengaruh lain yang tersedia untuk mencapai tujuan ini. Pihak B mungkin membuat keputusan yang diketahui mendukung A (misalnya, mengakui kekalahan dan menyerah) atau mungkin menjadi korban rayuan atau penipuan dan tanpa disadari membuat keputusan mendukung A.

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi keputusan dan tindakan yang menghasilkan B (atau reaksi) untuk menyerang A.
a. Kapasitas B untuk bertindak. Kemampuan B untuk merespon keinginan A dilihat dari faktor fisik, kemampuan untuk diperintah dan dipaksa B. Peperangan didasarkan pada premis bahwa degradasi kapasitas perang melawan B akhirnya akan menyebabkan B untuk membuat keputusan menyerah. Kapasitas tidak diukur tunggal; tapi banyak komponen, termasuk "pusat kekuatan sebagai gravitasi global", karakteristik strategis, kemampuan atau daerah dari mana kekuatan militer berasal, kebebasan tindakan, kekuatan dan kemauan untuk melawan.
b. Kehendak B. Kehendak untuk bertindak adalah faktor manusia, ukuran dari menyelesaikan atau penentuan pembuat keputusan manusia dari B dan kecenderungan mereka kepada tindakan alternatif. Elemen ini adalah yang paling sulit untukmenyerang, mengukur, model, atau langsung mempengaruhi. Kekuatan kehendak untuk mengambil tindakan dalam mencapai tujuan tujuan atau menyatakan mungkin melampaui "obyektif" kriteria keputusan. Dihadapkan keadaan tertentu masalah militer atau kekalahan ekonomi, kehendak pembuat keputusan dapat menekan, tidak peduli seberapa besar risiko, bereaksi dengan cara yang tidak rasional (dalam domain militer atau ekonomi).
c. Persepsi B. Pemahaman situasi dari perspektif dari B merupakan faktor informasi abstrak, diukur dalam hal tersebut sebagai akurasi, kelengkapan, kepercayaan atau ketidakpastian, dan ketepatan waktu. Keputusan B ditentukan oleh persepsi situasi (serangan A pada B) dan persepsi kapasitas B sendiri untuk bertindak. Berdasarkan persepsi tersebut, yang dirasakan tindakan alternatif yang tersedia dan hasil kemungkinan mereka, dan kemauan manusia keputusan pembuat, B merespon. Bagaimana kemudian dapat A memaksa B untuk bertindak dengan cara yang baik untuk tujuan A. Penyerang memiliki beberapa alternatif untuk mempengaruhi tindakan B, berdasarkan faktor-faktor ini. penyerang dapat langsung menyerang kapasitas B untuk bertindak. Ini mengurangi pilihan yang tersedia ke B, secara tidak langsung mempengaruhi kehendak B. Penyerang juga dapat mempengaruhi persepsi B tentang situasi (serangan terhadap Kapasitas pasti melakukan ini secara langsung, sementara serangan terhadap sensor dan komunikasi dapat mencapai hal ini secara tidak langsung); kendala untuk tindakan; atau mungkin hasil dari tindakan. Sementara penyerang tidak dapat langsung menyerang atau mengendalikan keinginan (will) dari B, kapasitas dan persepsi serangan kedua menyediakan sarana akses ke kehendak.

Sekarang dapat lebih lanjut detil model konflik untuk menggambarkan sarana yang A dapat mempengaruhi kapasitas B dan arus informasi yang memungkinkan B untuk memahami situasi konflik. Model rinci (Lihat Gambar 2.1) menyediakan arus informasi dari penyerang, A, di empat domain dengan keputusan dan tindakan B. Model ini akan memungkinkan kita untuk mengeksplorasialternatifdenganAdapat mempengaruhipersepsisituasiB.

Pertama, domain fisik di mana kapasitas B untuk bertindak berada. Orang-orang,proses produksi, stok sumber daya, pembangkit energi, platform senjata,jalur komunikasi, dan komando dan kontrol kemampuan berada didomain fisik. Domain kedua adalah domain informasi, elektronikranah di mana B mengamati dunia, memonitor serangan A, langkah-langkah status pasukan nya sendiri, dan mengkomunikasikan laporan mengenai lingkungan Hidup. Dalam domain berikutnya, satu persepsi, B menggabungkan dan analisis semua pengamatan untuk melihat atau menjadi berorientasi dengan situasi. Ini "Berorientasi" proses menilai tujuan, kemauan, dan kemampuan A. Hal ini juga membandingkan hasil layak reaksi itu dapat memilih, berdasarkan B Kapasitas sendiri, yang disediakan melalui proses observasi sebagai kekuatan melaporkan status mereka. Dalam domain ini, meskipun didukung oleh pengolahan elektronik dan proses visualisasi, pikiran manusia adalah elemen pusat yang komprehensif dan dalam situasi tingkat keyakinan yang dalam.

 Gambar 2. Model Perang Informasi

Perang informasi dalam Informations Warfare sangat menentukan. Pentingnya informasi dan peran sentral yang dimainkannya dalam peperangan bukan hal yang baru. Abad kesepuluh sebelum Masehi, komandan militer dan Raja,Solomon, menekankan pentingnya pengetahuan (intelijen militer), bimbingan (perencanaan strategis dan operasional), dan penasehat (analis tujuan) untuk menang dalam perang: "Seorang yang bijaksana memiliki kekuatan besar, dan seorang pria pengetahuan meningkatkan kekuatan; untuk melancarkan perang membutuhkan bimbingan, dan kemenangan dengan banyak penasihat.

Pada abad keenam SM, ahli strategi militer Cina Sun Tzu menulis dalam The Art of War pentingnya informasi. Berikut ini adalah empat pernyataan Sun Tzu mengenai informasi.
a. Informasi adalah penting untuk proses pengawasan, situasi pengkajian, pengembangan strategi, dan penilaian alternatif dan risiko untuk pengambilan keputusan. Sun Tzu menulis Konsep Informasi di Bab Perang bagian Tiga, Metode militer ; pertama, pengukuran; kedua, estimasi kuantitas; ketiga, perhitungan; keempat, menyeimbangkan peluang; kelima, kemenangan. "
b. Informasi dalam bentuk kecerdasan dan kemampuan untuk meramalkan hasil masa depan mungkin membedakan prajurit terbaik. Jadi, apa yang memungkinkan perintah bijaksana dan baik umum untuk menyerang dan menaklukkan, dan mencapai hal-hal di luar jangkauan orang biasa, adalah ramalan. "
c. Kontrol beberapa informasi dikomunikasikan kepada lawan, oleh penipuan (rayuan dan kejutan) dan penolakan, adalah kontribusi yang dapat memberikan persepsi yang salah sementara untuk musuh. "Semua perang didasarkan pada penipuan musuh," dan, " Seni perang yang bijak sangat kehalusan dan penih kerahasiaan! Untuk itu belajar untuk menjadi tak terlihat, dan tak terdengar."
d. Bentuk tertinggi peperangan menggunakan informasi untuk mempengaruhi persepsi musuh untuk menaklukkan kehendak daripada menggunakan memaksa fisik. "Dalam seni praktis perang, hal terbaik adalah untuk mengambil musuh negara secara keseluruhan dan utuh. Oleh karena itu untuk melawan dan menaklukkan dalam semua Anda pertempuran tidak keunggulan tertinggi; keunggulan tertinggi terdiri melanggar perlawanan musuh tanpa pertempuran."Masing- masing prinsip utama ini, diterapkan bahkan sebelum abad keenam SM, mengandalkan akuisisi, pengolahan, dan penyebaran informasi. Prinsip-prinsip tidak berubah, tetapi cara akuisisi, pengolahan,dan diseminasi memiliki, sarana elektronik memperoleh dan mengelola informasi memiliki teknologi diganti sebelumnya, kurir manusia, dan komunikasi tertulis. Meningkatnya ketergantungan pada sarana elektronik mengelola volume besar informasi dan peningkatan nilai informasi yangtelah membuat informasi itu sendiri target yang menguntungkan dan berharga senjata perang. Perubahan ini merevolusi peran informasi dan perilaku perang.

4.2. C4ISR/K4IPP Pertahanan Negara

Command and Control (C2) Communications, Computers, Surveillance and Reconnaissance(C4IPP) atau Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, Pemantauan dan Pengintaian (K4IPP)Pertahan Negara adalah sistem informasi integral untuk mendukung kemampuan militer. Militer sesuah sistem organsisi dengan menggunakan tool-tool elektronika untuk mencapai tujuan operasi militer. Pada awalnya dalam militer ada atasan dan bawahan, atasan berhak dan bertanggunjawab memberi perintah dan mengontrol sejauh mana perintah dilaksanakan.Berjalan waktu, organisasi lebih luas personil lebih banyak, maka komunikasi merupakan penambahan elemen selanjutkan. Demikian juka setelah komunikasi adalah komputer sebagai teknologi dalam mendukung CC tersebut. Selanjutnya peran intelijen, pemantauan dan pengintaian sebagai kemampuan dasar organisasi militer. Untuk meningkatkan fungsi C4ISR dalam mendukung CC atau keputusan pimpinan menurut Stuart H. Starr, ada dua persoalan; pertama meningkatkan komunikasi lintas komunitas dan mendorong masyarakat terlibat dalam mengatasi masalah tersebut baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Dua segmen tersebut berkembang namun dalam prakteknya akan terhalang dalam meningkatkan C4ISR oleh banyak masalah, antara lain;
a. Masalah Budaya. Dalam penelitian terdahulu secara umum menggambarakan bahwa budaya TNI sudah mulai berubahdari dulu yang terfokus pada perintah demi perintah menjadi lebih responsif yaitu melihat keinginan dan persepsi masyarakat. Perubahan itu tentu modal awal dalam era reformasi demi tegak dan kuatnya intansi TNI, tetapi perkembangan masalah bangsa selalu berkembang dan melibatkan instansi lain yang memiliki wewenangan seperti Depatemen Dalam Negeri masalah teroris mestinya counter radikadikal lebih awal ditangani bagaian Kesbangpol misalnya. Penculikan WNI oleh Abu Sayyap mesti Departemen Luar Negeri lebih terbuka, demikian juga dengan mitra koalisi kitaterutama anggota negara Asean, negara tetangga sangat penting dalam pengembangan Interoperability C4ISR. Kemudian untuk mengubah budaya antara angkatan yang terlihat memiliki batas, perlu dikaji lebih lanjut. Hampir sama halnya juga dengan masyarakat, harus ada langkah-langkah untuk menghilangkan ketakutan, kekhawatiran penyalahgunaan, kesalahpahaman, dan konsekuensi yang merugikan pihak kita.
b. Organisasi. Keputusan dibuat oleh Komando merupakan proses interaksi bawahan dan atasan dalam mengelola data-informasi-pengetahuan dan tindakan kita dalam suatu organiasi. Fragmentasi elemen masyarakat merupakan bagian dari C4ISR. Untuk itu harus dilihat apa langkah institusional dapat diambil untuk memastikan bahwa penilaian C4ISR memperlakukan semua elemen masyarakat secara seimbangdalam upaya masa depan, masayarakat organisasi besar dalam praktet C4ISR.
c. Masyarakat. Pendidikan dan pelatihan dari semua orang yang terlibat dalam proses penilaian C4ISR dianggap menjadi kritis dalam tingkat penilaian. Ini menggolongkan program untuk memastikan bahwa analis berpengalaman dalam metodologi terbaru, serta tantangan yang berkaitan dengan berurusan dengan sejumlah besar data heterogen. Tapi harus ditekankan bahwa pendidikan perlu terlibat dalam pengambil keputusan akan membutuhkan masyarakat berpendidikan untuk pemahaman atas suatu analis. Secara khusus, ada nilai yang besar dalam menyediakan pembuat keputusan dengan daftar pertanyaan yang ia harus berpose untuk analis sebagai hasil penilaian.
d. Proses. Sepanjang Perang Dingin, komunitas penilaian C4ISR diarahkan untuk melakukan penilaian-ancaman berbasis (misalnya, fokus pada skenario yang dipilih didokumentasikan). Tantangan masa mendatang akan melakukan penilaian berdasarkan kemampuan yang berusaha untuk mengidentifikasi titik kuat-lemah dalam efektifitas operasional di seluruh spektrum yang luas dari lawan. Dalam rangka untuk melakukan penilaian ini secara efektif, maka akan diperlukan untuk melakukan yang luas, analisis eksplorasi (mempekerjakan berjalan cepat, alat penilaian tingkat tinggi) untuk mengidentifikasi segmen ruang skenario. Mereka "menarik" segmen kemudian harus dikaji secara lebih mendalam. Penilaian ini akan sangat menantang bagi daerah misi yang semakin penting dalam kekuatan berubah (misalnya, Informasi Operasi, Stabilitas dan Dukungan Operasi, kontra-terorisme).
e. Alat. Hal ini secara luas diakui bahwa tujuan dari transformasi tidak akan tercapai hanya melalui solusi materil. Sebagaimana dinyatakan dalam Joint Vision 2020 (Referensi 21), itu akan memerlukan kerjasama dari semua Kekuatan : Kepemimpinan, Organisasi, Doktrin, Interoperability, Masyarakat, Personil, Peralatan, Pelatihan, Pasilitas Pendukung, Perusahanaan Swasta, Pemerintah Daerah, atau disingkat KODIM-P5. Sayangnya, penilaian masyarakat saat ini hampir tidak ada alat yang memungkinkan kita untuk berinovasi dalam kreativitas. Dengan demikian, alat baru akan dibutuhkan yang komponennya dapat diatur secara efektif, untuk memperbaiki kekurangan ini.
f. Penelitian dan Pengembanga (Litbang). Di antara unsur-unsur penting yang mempengaruhi C2 adalah faktor kognitif dan perilaku, kalau tidak alat kita ada cenderung untuk kembali ke solusi tahun 1970-an. Untuk masalah ini kita abaikan atau menganggap sebagai efek urutan kedua atau ketiga. Ada upaya pemahaman awal untuk mengatasi masalah ini (misalnya, NATO SAS-050) tetapi penelitian mendasar yang diperlukan untuk membangun basis teoritis dari mana mereka dapat mengembangkan alat baru dan membimbing pengumpulan data yang berarti.
g. Data. Hal ini semakin diakui bahwa tepat waktu, tersedia, data yang dimengerti merupakan "inti" dari masalah penilaian C4ISR. Meskipun Depepartemen Pertahanan belum berhasil menghimpun data dalam jajaran TNI secara utuh tapi bagaimanapun data merupakan hal yang penting, masalah data itu sendiri memerlukan kebutuhan untuk perubahan dalam budaya, pendidikan dan pelatihan, dan proses masyarakat (misalnya, kebutuhan untuk kaya, metadata disiplin).
h. Produk. Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara telah mengatur peran dan tugas Pusat data Dan Informasi tiap angkatan memiliki pembagian tugas, misalnya dalam lampiran dijelaskan; Tataran Sistem Informasi Pertahanan Negara. Sesuai dengan kewenangan, kepentingan, tugas, tanggung jawab dan fungsi yang diemban pada tiap strata organisasi, maka sistem informasi pertahanan negara disusun dalam tataran sebagai berikut;
1) Tingkat Kementerian Pertahanan. Melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi pertahanan negara untuk mendukung tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertahanan serta sistem informasi nasional.
2) Tingkat Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan system informasi pertahanan negara untuk mendukung tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia serta system informasi di tingkat Kementerian Pertahanan.
3) Tingkat Markas Besar Angkatan. Melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi pertahanan negara di lingkungan Angkatan, untuk mendukung tugas pokok dan fungsi Angkatan, serta sistem informasi di tingkat Markas Besar Tentara Nasional Indonesia dan Kementerian Pertahanan.
4) Tingkat Komando Utama dan Badan Pelaksana Pusat. Melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan system informasi pertahanan negara di lingkungan Komando Utama dan Badan Pelaksana Pusat, untuk mendukung tugas pokok dan fungsi Komando Utama dan Badan Pelaksana Pusat, dan sistem informasi di tingkat Angkatan serta Markas Besar Tentara Nasional Indonesia dan Kementerian Pertahanan.

Walaupun Dephan memiliki Peraturan tapi dalam kenyataannya belum dapat dilakukan secara penuh, bahkan belum mampu menghimpun data dari angkatan yang diperlukan. Bahkan dalam wawancara Peneliti dengan Staf Pusadatin Tahun 2016 telah dianggarkan 76 milyar samapai bulan Agustus tiap angkatan masih berbeda pendapat. TNI AL dan AU sudah mulai berjalan, tapi Mabes TNI dan Mabes Angkatan belum tahu perkembangannya. Tapi ditelusuru lebih dalam pada tataran taktis sesungguhnya sulit untuk mendapatkan data tetang kegiatan TNI di lapangan, misal monitoring pergerakan PAUM dari satu pulau ke pulau lain, Kapal Laut dari satu pulau ke pulau lain, Pengamanan Industri vital seperti Freeport, Cevron, Arun dan sebagainya.
Bagaimanapun.untuk pengembangan Kerangka Kerja Arsiteks C4ISR, dilakukan dengan langkah-langkah;
a. Tinjauan Operasional, menjelaskan tugas dan kegiatan, node (titik simpul) operasional, dan informasi yang mengalir antara node yang diperlukan untuk mencapai atau mendukung operasi. Pandangan operasional menggambarkan sifat pertukaran informasi secara cukup rinci untuk menentukan apa tingkat tertentu interoperabilitas pertukaran informasi diperlukan.
b. Tinjauan Sistem, menerjemahkan tingkat yang diperlukan inter- operabilitas menjadi satu set kemampuan sistem yang diperlukan, mengidentifikasi sistem saat ini yang digunakan dalam mendukung kebutuhan operasional (atau sistem mendalilkan yang dapat digunakan), dan memfasilitasi perbandingan implementasi sistem saat ini/mendalilkan dengan yang dibutuhkan kemampuan.
c. Tinjaun teknis, mengartikulasikan kriteria yang mengatur pelaksanaan diperlukan kemampuan sistem. Agar konsisten dan terpadu, deskripsi arsitektur harus menyediakan hubungan eksplisit antara berbagai pandangannya. Set produk Framework, dijelaskan secara singkat dalam paragraf berikutnya, menyediakan sejumlah keterkaitan tersebut antara pandangan. Kerangka Pengembangan C4ISR dapat digambarkan sebagai berikut;

Gambar 3. Kerangka Pengembangan C4ISR

5. Keunggulan Informasi dan OODA

Secara umum manusia menerima informasi 83 persen berasal dari media publik terutama internet, televise, koran, majalah, jurnal dan radio. Hanya sedikit yang diterima melalui jaringan khusus, bahkan laporan- laporan dari agen khusus juga sering terlambat jika dibandingkan dengan informasi dari media elektonik, terutama internet on line dan televisi. Informasi yang diterima oleh Pimpinan TNI sebelum membuat keputusan memang tidak hanya dari media publik tapi dari staf intelijen dan staf khusus dan staf-staf lain. Penjelasan terdahulu terkait dengan sistem informasi dan upaya keunggulan informasi TNI antara lain ditulis oleh Iwan Kustiyawan dan Arwin DWS. Menurut Iwan Kustiyawan, TNI saat ini perlu merubah doktrin agar dapat menafaatkan teknologi dalam merebut keunggulan informasi, diantaranya melalui konsep Revolution Military Affair (RMA). Didasari atas teori Simmetric Warfare, kelihatannya kemenangan perang tidak lagi ditentukan factor-faktor yang pasti, maka upaya merebut keunggulan informasi melalui prinsif Network Centic Warefare, adalah sbb: merencanakan, membangun dan mengembangkan jaringan sesuai dengan tuntutan kebutuhan operasional sistem, sehingga memiliki kekuatan yang akan meningkatkan kemampuan sharing informasi, kerja sama informasi/ kolaborasi, dan meningkatkan efektivitas misi secara dramatis.

Kemudian Arwin DWS lebih fokus masalah doktrin Operasi Informasi TNI AL yang tidak implementatif. Arwin mengajukan pola tersendiri untuk merangkai elemen-elemen yang dimiliki TNI AL menjadi sebuah sistem informasi. Awin DWS membuat formulasi siklus informasi mulai dari input data, proses dan ouput secara terpadu, yang disebut Observe, Orientation, Decition dan Action (OODA);

Gambar 4. Siklus Informasi Observe, Orientation, Decition dan Action (OODA)

Menurut peneliti kerangka kerja ini sangat bagus dalam menyusun kerangka kerja dalam suatu sistem secara linear. Akan tetapi kalau melihat hubungan data menjadi data base terjadi loncatan, karena pada saat ini terjadi reduksi data. Artinya tidak semua data masuk ke data base. Like and dislike operator misalnya sangat menentukan, atau arahan pimpinan data yang masuk cukup ini dan itu sehingga terjadi kekacauan reduksi. Apabila peralatan yang bagus namun tidak dibarengi dengan sumber daya yang diharapkan, maka perlatan mahal menjadi sia-sia. Untuk mengatasi ini harus ada perubahan mind set, atau cara pandang bersama tentang keunggulan informasi. Standar data yang masuk dan itu sangat dipengaruhi oleh otoritas pimpinan dan bawahan pun menyesuaikan dengan selera pimpinan. Akan tetapi kalau bagaimanapun proses tetap jalan, maka sebuah hanya diuji oleh waktu.

Kemudian Eitan Altman, dalam tulisannya berjudul “InformationTheory: New Challenge sand New Interdisciplinary Tools” dengan menggunakan teori permainan (Game Theory) menunjukan hubungan ketidak teraturan satu dengan yang lain pola tersendiri walaupun digerakkan secara bebas. Artinya sesuatu bekerja menurut dirinya sendiri akan menghasilkan pola sendiri.

Operasi-operasi informasi pada dasarnya terbagi dua, operasi informasi depensif dan opersai informasi opensif. Operasi informasi depensif merupakan kesiapan sistem untuk mengamankan informasi sendiri dari upaya musuh untuk merusak, mengganti,mencuri atau dengan cara lain yang dapat mengganggu keputusan komando. Sedangkan operasi opensif bersifat menyerang, atau berupaya untuk mendapatkan informasi tentang lawan dengan cara-cara yang aman dari pengetahuan musuh, namun mendapatkan informasi yang objektif, cepat, akurat dan dibutuhkan.

Terkait dengan sistem informasi satuan-satuan TNI, pertanyaan yang diuji adalah kemampuan opensif dan defense seperti apa yang dimiliki TNI sekarang. Untuk itu perlu dilakukan penilaian terhadap Prosedur, Aplikasi, nfrastruktur dan Data (PAID) dalam menghidangkan sebuah keputusan untuk pimpinan TNI/Komando.

Dalam beberapa latihan gabungan TNI telah melaksanakan operasi informasi. TNI menyadari pentingnya operasi informasi, namun belum memiliki landasan teori karena belum ada research standar akademis tentang operasi informasi.

Kebijakan pimpinan mencari refensi diataranya United States Joint Publication (JP 3-13) tahun 1998 tentang Information Operations dan United States Air Force Doctrin Documen (AFDD) 2-5 tahun 2002 tentang Informations Operations. Secara khusus operasi informasi di lingkungan TNI AL dimuat dalam dotrin SBP 2004 dan dituangkan dalam Surat Keputusan Kasal nomor Skep/133/VII/2005 tentang Operasi Informasi dalam bentuk Naskah Sementara Buku Petunjuk Pelaksana (Bujuklak). Karena TNI AL mengadopsi JP 3-13 sebagi rujukan, maka penelitian ini akan merujuk kembali JP 3-13 sehingga dapat menelaah doktrin yang digunakan TNI dan operasional secara teknis dilapangan. Doktrin ini telah dilakukan uji coba dalam Geladi Pos Komando (Posko) Angkasa Yudha tahun 2011 dan 2012.

6. Metodologi Penelitian

Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu metodos dan logos. Metodos berasal dari metha yang berarti melalui dan hodos berarti jalan ke atau prosedur, dan logos berarti ilmu.Secara sederhana metodologi artinya ilmu prosedur. Kemudian kata “Penelitian” berasal dari kata teliti, tambah konfiks pe-an, sehingga menambah makna cara meneliti. Artinya Metodologi Penelitian di sini suatu kegiatan keilmuan untuk mencari kebenaran, kebaikan dan kemulian dengan cara meneliti. Karena upaya tersebut bersifat metafisis, dalam hal ini untuk membangun sistem informasi agar command and control (CC) dapat melakukan koordinasi dengan baik, keputusan yang tepat dan sebagainya.

Pertanyaannya bagaimana menjawab menyusun data dari berbagai sumber yang tidak tersusun dan transfer data yang lambat untuk dapat mendukung command and control (CC) komando atas sesui dengan hirarkhi dan kondisi yang berbeda dalam kerangka keilmuan, maka disini tugas filsafat ilmu memberi persyarakat dasar sebuah penelitian bernilai karya ilmu. Bagi Filsafat Ilmu sebuah penelitian masuk dalam suatu kajian harus memiliki unsur ontologis, epistemologis dan axiologis. Dalam aplikasinya diimplementasikan oleh sebuah model metodologi yang mengandung; keteraturan (sistematis), konsistensi, korespondensi (rasional-empiris) dan determinisme (kausalitas). Dengan demikian Metodologi Penelitian adalah prosedur keilmuan yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh peneliti itu sendiri.

Untuk mencapai suatu tujuan harus dilakukan dengan cara yang tepat. Ilmu menentukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan dalam dunia ilmu pengetahuan dipelajari dalam metodologi. Secara harfiah metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu metodos dan logos. Metodos berasal dari metha yang berarti melalui dan hodos berarti jalan ke atau prosedur, dan logos berarti ilmu. Secara sederhana metodologi artinya ilmu prosedur mencapai tujuan. Kemudian kata “Penelitian” berasal dari kata teliti, tambah konfiks pe-an, sehingga menambah makna cara meneliti. Dengan demikian metode penelitian dalam penelitian ini untuk menentukan langkah langkah dalam mencari kemudahan untuk melaksanakan command and control (CC) bagi komando atau sesuai dengan hirarkhi dan kondisi yang berbeda dalam kerangka keilmuan. Sesuai dengan tujuan CC adalah untuk dapat merumuskan perintah, keputusan yang tepat, mengontrol pelaksnaannya, melakukan koordinasi antar komando, intansi samping dan sebagainya.

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan menggambarkan lingkungan informasi TNI AL. Karena keterbatasan peneliti, maka peneliti memilih Dinas Penerangan dan Dinas Informasi dan Pengolahan Data. Dua dinas tersebut dapat memehuhi tuntutan elemen informasi yaitu prosedur, aplikasi, infrastruktur dan data. Penelitian ini terkait dengan Pertahanan Negara belum optimal. Keterkaitan ini penting untuk memperlihatkan keberadaan Strata Mutlak Pertahanan Negara demi kelangsungan NKRI berupa integritas teritorial, kedaulatan nasional, dan keselamatan bangsa Indonesia. Integritas teritorial tergambar dalam efektifitas CC, dalam hal ini Presiden sebagai Panglima Tertinggi, Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan mestinya memiliki akses terhadap prajurit di lapangan karena dalam era Perang Informasi perebutan keunggulan informasi merupakan keniscayaan. Informasi yang cepat, akurat dan lengkap sangat diperlukan oleh pimpinan dalam mengambil keputusan yang tepat, dan mengkoordinasikan siapa berpicara apa sehingga kesembangan opini dapat menjaga suasana nyaman dan menjamin sinergisitas dalam sebuah sistem pertahanan negara.

Kalau melihat kenyataan di lapangan dan penjelasan pejabat Kemhan/ TNI sistem informasi belum memiliki bentuk yang dapat mendukung operasi informasi dan masih belum standar kalau dibandingkan dengan US JP-3 13 Sesuai dengan penjelasan Bab I bahwa penelitian ini terkait dengan model interoperability data link pertahanan negara. Dengan demikian Interoperability data link bagian dari sistem informasi menggunakan teknologi digital, maka penelitian ini merujuk pada metode mencari model penyempurnaan sistem informasi. Karena pilihan metode-metode untuk melakukan penelitian sistem informasi sangat banyak, maka peneliti berhadapan dengan pilihan-pilihan metode mana yang tepat dalam mengadakan perbaikan sistem informasi pertahanan negara tersebut.

Bagi peneliti, secara sederhana metode pengembangan sistem informasi terbagi dua; yaitu metode bersifat tradisional atau konservatif yang mengutamakan pemikiran deduktif, dan kedua metode yang progresif yang bentumpu pada metode induktif. Setelah meninjau beberapa metode untuk mencari model sistem informasi dan konsultasi dengan beberapa ahli, baik dari TNI, Kemhan dan Akademisi maka penelitian ini akan menggunakan metode pendekatan Rapid Application Development (RAD).

6.1. Metode Pendekatan Rapid Application Development (RAD).

Upaya penyatuan pengembangan tradisional dengan progresif dapat digambarkan sebagai berikut ;

Gambar 5. Model Pengembangan RAD

Pertimbangan peneliti memilih model pengembangan RAD ini karena relevan dengan tujuan penelitian untuk mencari model proses (interoperability) dan model data (data link). Kelebihan Model RAD mampu mengintegrasikan dari berbagai sistem, memang kelemahan Model RAD tidak melibatkan proses regulasi, padahal intansi strategis pemerintah sangat perlu. Kemudian peneliti juga mempertimbangkan aspek tradisi di lingkungan Kemhan/TNI, pola hukum yang ada dan potensi kemampuan personil Kemhan/TNI, sehingga peneliti menambah satu tahapan yaitu tahap regulasi sebelum aplikasi. Memang RAD memiliki kelebihan tapi juga memiliki kelemahan diataranya;
a. Sangat tergantung pada tim yang kuat dan kinerja individu untuk mengidentifikasi kebutuhan bisnis. Untuk mengatasi ini Kemhan/TNI memiliki potesi sumber daya manusia yang dapat dididik dan dibina.
b. Membutuhkan desainer yang sangat terampil. Untuk mengatasi masalah ini Kemhan/TNI dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dengan didampingi pihak internal, sampai pihak internal mandiri.
c. Ketergantungan tinggi pada kemampuan modeling. Untuk menjaga kontinuitas kebutuhan yang berkembang Kemhan/TNI perlu menyiapkan kader secara berkelanjutan, mendidik generasi muda yang potensial.
d. Diterapkan untuk proyek-proyek yang lebih murah sebagai biaya pemodelan dan otomatis generasi kode sangat tinggi, sehingga ketika menggunakan model RAD:harus menciptakan sebuah sistem yang dapat modular dalam waktu 3-6 bulan.
e. Pembiayaan yang cukup tinggi dari desainer untuk pemodelan, biaya pembuatan kode samapai menghasilkan alat otomatis sesuai dengan model proses yang diinginkan.
Untuk memperkuat metode ini peneliti meletakan dalam kerangka
paradigma filosofis-fenomenologis. Intinya, penelitian ini merupakan penelitian bagian dari sistem pertahanan negara yang sangat komplek (system to system) berguna untuk pembentukan model yang berdampak luas, pertimbangan itu peneliti harus memiliki dasar filosofis yang kuat. Menariknya lagi, dalam metode RAD ini bukan hanya faktor teknis semata tapi memahami persoalan human yang terkait dalam proses sebagai titik awal yang perlu diperhitungkan. Penelitian ini merupakan rangkaian dari penelitian terkait lainnya terutama Sistem Informasi tiap Angkatan di lingkungan TNI, sehingga penelitian tersebut bagian dari penelitian ini walaupun menggunaka metode yang berbeda, karena sesuai dengan tujuan pada tahapan yang dikerjakan. Untuk itu pilihan berbagai metode untuk pengembangan Sisinfohaneg tergantung pada tujuan dan sasaran penelitian. Model tersebut menentukan berbagai tahap proses dan urutan di yang akan dilakukan.

James Martin membangun pendekatan RAD membagi proses dalam empat tahap yang berbeda:
a. Persyaratan tahap perencanaan. Analisa tentang Target, Tujuan dan Tugas Pokok organisasi menjadi penting. Menggabungkan unsur perencanaan sistem dan analisis sistem fase Sistem Development Life Cycle (SDLC). Pengguna, manajer, dan anggota staf IT membahas dan menyepakati kebutuhan bisnis, lingkup peluang, kendala, dan persyaratan sistem. Tahap ini penting mencari kesepahaman, secara prinsip harus ditemukan dan dibicarakan secara terbuka dan diikat dengan ketentuan.
b. Tahap Mendesain Pengguna, pada fase ini, pengguna berinteraksi dengan sistem analis dan mengembangkan model dan prototipe yang mewakili semua sistem proses, input, dan output. Aliran informasi yang sudah didefinisikan, disusun menjadi sekumpulan objek data. Ditentukan oleh karakteristik/atribut dan hubungan antar objek-objek tersebut. Intinya analisis kebutuhan dan data. Kelompok Peneliti dengan pendekatan RAD atau subkelompok biasanya menggunakan kombinasi teknik Joint Application Development (JAD) untuk menerjemahkan kebutuhan pengguna ke dalam model kerja. Dalam JAD memahami Proses dan Data Model, Merekam Keputusan Stakeholder, Isu, & Action serta menghasilkan Rencana JAD Rencana, Sesi, & Wrap-Up Kerja. Desain pengguna adalah proses interaktif yang berkesinambungan yang memungkinkan pengguna untuk memahami, memodifikasi, dan akhirnya menyetujui sebuah model kerja dari sistem yang memenuhi kebutuhan mereka. Langkah-langkah pelaksanaan JAD adalah sebagai berikut; Wawancara Executive Sponsor, Baca Dokumentasi yang ada, Draft Lengkap, Ringkasan rencana kerja, Wawancara Stakeholder, Membentuk Tim JAD, Aplikasi Dasar Dokumen, Buat Rencana JAD, Siapkan Bahan, Set Up Room, Ulasan dengan Executive Sponsor.
c. Tahap Konstruksi, berfokus pada program dan pengembangan aplikasi tugas mirip dengan SDLC. Namun dalam RAD pengguna terus berpartisipasi dan masih dapat menyarankan perubahan atau perbaikan sebagai layar atau laporan yang perlu dikembangkan. Tugasnya adalah pengembangan program dan aplikasi, coding, unit-integrasi dan pengujian sistem. Objek data yang sudah didefinisikan diubah menjadi aliran informasi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi bisnis. RAD menggunakan komponen program yang sudah ada atau membuat komponen yang bisa digunakan lagi, selama diperlukan.
d. Tahap Aplikasi. Pendekatan dasar, (cut-over) - menyerupai tugas akhir dalam tahap implementasi SDLC, termasuk konversi data, pengujian, change-over ke sistem baru, dan pelatihan pengguna. Dibandingkan dengan metode tradisional, seluruh proses yang dikompresi. Testing and Turnover: karena menggunakan componen yang sudah ada, maka kebanyakan componen sudah melalui uji atau testing. Namun komponen baru dan interface harus tetap diuji.

Adapun model RAD yang akan digunakan peneliti adalah:
Pemodelan Tugas Pokok: Aliran informasi diidentifikasi antara berbagai fungsi dan tugas. Tahap perencanaan ini dimulai dengan menggabungkan unsur perencanaan sistem dan analisis sistem pada fase Sistem Development Life Cycle (SDLC). Terdiri dari pengguna, manajer, dan anggota staf IT membahas dan menyepakati kebutuhan, lingkup proyek, kendala, dan persyaratan sistem. Kata kunci adalah untuk mencapai kata kesepakatan tim, tentang isu-isu kunci dan memperoleh otorisasi manajemen untuk menelitinya. Pada tahap ini menjawab pertanyaan-pertanyaan:
1) Bagaimana mengklsifikasikan data, artinya bagaimana menentukan apakah data bersifat strategis, takstis, dan operasional, terstruktur, semi-terstruktur dan non strukural?
2) Bagaimana data dikirim dan kepada siapa yang bersifat dua arah atau hanya atasan lansung (kompatibilitas), data yang mana yang dikirim terus menerus (jaringan secara integrasi), dan mana pula data yang disampaikan hanya data tertentu dalam waktu tertentu, atau kondisi tertentu (interoperabilitas)
3) Bagaimana untuk menganalisa data menjadi informasi, apa yang mengendalikan proses pengambilan keputusan? Kemana informasi itu diberikan? Siapa yang menyimpan informasi? Apa sesungguhnya kebutuhan dari sistem kebutuhan dari sistem.
4) Pemodelan Data: Informasi yang dikumpulkan dari pemodelan tugasdan fungsi digunakan untuk mendefinisikan objek data yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pokok.
5) Pemodelan Proses: objek data yang didefinisikan dalam pemodelan data dikonversi untuk mencapai aliran informasi bisnis untuk mencapai beberapa tujuan bisnis yang spesifik. Deskripsi diidentifikasi dan dibuat untuk Create, Read, Update and Delete (CRUD) objek data.
6) Pembentukan regulasi dengan melibatkan setiap stakeholder yang ada secara mendalam, dengan mempertimbangan hak dan keawajiban setiap bagian sehingga tergambar siapa berbuat apa.
7) Aplikasi generasi: alat otomatis yang digunakan untuk mengkonversi model proses ke dalam kode dan sistem yang sebenarnya.
8) Pengujian dan maintenance: Uji komponen baru dan semua antar muka.

6.2. Subjek Penelitian

Subjek adalah Kementerian Pertahanan, yang memiliki wewenang dalam mengatur system informasi pertahanan Negara, sesuai dengan judul penelitian yaitu Sistem Informasi TNI AL dalam rangka Interoperabiliti Pertahanan Negara. Pertahanan Negara terdiri dari berbagai unsur sebagai kekuatan negara yang diharapkan bekerja untuk menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Intra dan ekstra lingkungan militer. Dalam lingkungan militer ada angkatan Darat, Laut dan Udara. Penelitian ini khusus angkatan laut, yaitu sistem informasi Angkatan Laut terkait dengan pertahanan negara untuk terselenggaranya CC antara atasan dengan bawahan, koordinasi antar pimpinan.

Sistem Informasi Pertahanan Negara disingkat Sinfohaneg sesuai dengan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara, bahwa Sisfohanneg adalah informasi yang dibina dan diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia yang digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Pembina Teknis Sistem Informasi di Kementerian Pertahanan adalah Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertahanan yang selanjutnya disingkat Pusdatin Kemhan. Pembina Teknis Sistem Informasi di Unit Organisasi Tentara Nasional Indonesia dan Angkatan adalah Pusat Informasi dan Pengolahan Data Tentara Nasional Indonesia dan Dinas Informasi dan Pengolahan Data Angkatan yang selanjutnya disingkat Pusinfolahta TNI dan Disinfolahta Angkatan. Dengan demikian Subjek Penelitian adalah Mabes TNI AL, dalam hal ini sample Dispen TNI AL dan Disinfolahta TNI AL. Namun setelah diadakan penjajakan tidak ada model interoperability baik antar satker, antara angkatan, maupun Mabes TNI sehingga penelitian hanya menggambarkan lingkungan informasi TNI AL, dan data dikumpulkan melalui metode e-research collaboration.

6.3. Objek Penelitian

Objek adalah sasaran. Sasaran Penelitian adalah Sistem Informasi TNI AL, yaitu Peralatan dan personil yang menjadi penentu terselenggaranya proses informasi, dari data menjadi fakta, fakta mengaji pengetahuan dalam pengambilan keputusan pimpinan. Untuk itu yang mejadi objek pada penelitian ini adalah;
a. Radar Pantai yang digunakan dalam mengumpulkan dan mengolah data data menjadi informasi.
b. Para prajurit yang disiapkan, baik pejabat pada level strategis, taktis maupun operasional.
c. Peralatan pendukung komukasi yang dipergunakan, terutama telepon, ponsel, dan radio.
d. Naskah, Buku dan dokumen yang diharapkan dapat menggambarkan tentang tata cara kerja dan pelatan dalam pengumpulan data, proses data untuk menjadi bukti-bukti dan petunjuk tentang sistem informasi Haneg.

6.4. Teknik Pengumpulan data

Data dikumpulkan dengan berbagai cara, wawancara, pengumpulan data melalaui perpustakaaan, dokumentasi dan berbagai sumber lainnya. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan e-reserch collaboration. Jenis teknik pengumpulan data ini masih baru. Menurut Siemens untuk memahami e research collaboration sesungguhnya kita hanya membahas peran alat komunikasi untuk memfasilitasi penelitian kolaboratif. Siemens menekankan pentingnya tidak menjadi lebih bergantung pada alat e research collaboration karena hal ini dapat benar-benar menghambat kolaborasi. Siemens mencatat bahwa individu bisa menjadi rentan terhadap lebih dari ketergantungan pada satu cara mengumpulkan data, atau salah satu alat digital. Sementara e research collaboration telah memperluas peluang untuk kolaborasi antara akademisi, catatan peneliti agar menjadi efektif, tim global perlu menerapkan berbagai alat komunikasi dan kolaborasi, menggambar atas kekuatan masing-masing. Siemens mencatat bahwa keseimbangan antara alat e research collaboration dan pertemuan tatap muka adalah diperlukan untuk kolaborasi yang efektif.

6.5. Pelaporan

Penelitian ini bagian dari proyek Penelitian Pusat Studi Perbatasan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M).Unhan, sehingga laporan penelitian ini disampaiakan kepada Rektor Unhan melalui LP2M. Pelaporan menggunakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rektor Unhan. Penelitian ini bagian dari Penelitian Pertahanan Negara, sub dari Penelitian Interoperability Data Link Pertahanan Negara.

Penelitian system informasi Pertahanan Negara pada tahap Pertama mulai dari analisa tugas pokok, implementasinya terkait dengan system informasi. Kemampuan masing-masing angkatan diharapkan tergambar dalam Penguasaan Tata Kelola Organisasi, Penguasaan Tenologi dan Kesipan dalam Operasi Informasi.Pembuatan laporan sesui dengan format dan standar yang belaku di Unhan.Debatable mengenai standar dapat mengacu pada Standar KKNI, sehingga dalam penelitian ini diharapkan dapat memenuhi standar tersebut. Kekurang di sana sisi sudah pasti, melalui kritikan dan saran penelitian ini akan terus diperbaiki.

7. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kepala Staf Angkatan Laut merupakan pembina tertinggi dalam matra laut dan pengunaan kekuatan berada di bawah kendali Panglima TNI. Kemudian Pasal 10 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Laut. Pasal ini menunjukan secara konstitusional Presiden adalah pimpinan tertinggi TNI, termasuka angkatan laut. Persoalannya belum ada jaringan khusus antara Presiden dengan prajurit sehingga Presiden tidak memiliki hubungan lansung dengan prajurit, untuk itu penting diteliti bagaimana Presiden melakukan Command and Control (C2) terhadap prajurit TNI. Secara teoritis pelaksanaan tugas menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI didistribusikan kepada satuan bawah sehingga Presiden melakukan C2 tidak secara lansung, namun bukan berarti lepas dari kendaliatau tidak memiliki prosedur, aplikasi dan infrastuktur dan data (PAID) yang pasti. Kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat saat Operasi Navy Seal dimana Obama dapat lansung memonitor bagaimana kegiatan prajurit mereka menerobos kediaman Osama bin Laden yang dikejar 10 tahun lebih tersebut.

7.1. Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya

Menurut Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Tugas TNI Angkatan Laut;
a. Menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, TNI Angkatan Laut bertugas :
1) Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan.
2) Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
3) Melaksanakan tugas TNI AL dan pengembangan kekuatan matra laut.
4) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
b. Pelaksanaan tugas diatas diwujudkan dalam kegiatan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Untuk mengarahkan TNI AL dalam melaksanakan tugas, TNI memiliki doktrin; Eka Sasana Jaya.

Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya merupakan landasan bagi pelaksanaan tugas AL yang berdasarkan istilahnya dipakai sebagai penuntun ke arah keunggulan Angkatan Laut di medan perang. Selain itu, doktrin ini memberi inspirasi yang visionary tentang perlunya kekuatan dan kemampuan maritime serta Angkatan Laut yang kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, kuat, dan disegani di dunia. Doktrin Eka Sasana Jaya menjelaskan beberapa hal dasar sebagai berikut:
a. lingkungan laut dan sifat dasar kekuatan laut;
b. perang dan konflik bersenjata;
c. konsepsi pertahanan negara di laut;
d. kekuatan dan kemampuan maritime;
e. gambaran tentang bagaimana Angkatan Laut memberikan kontribusinya kepada pertahanan negara.
Penjelasan tentang lingkungan laut dan sifat dasar kekuatan laut beranjak dari konsepsi geostrategis dan geografi Indonesia sebagai negara kepulaun terbesar didunia yang mengandung beberapa konsekuensi baik ekonomi, politik, hukum, militer, dan fisik yang harus dilindungi. Sebagai negara kepulauan terbesar dan dimensi maritime yang terbuka maka aspek/ konsekuensi ekonomi, politik, hukum, militer, dan fisik yang harus dilindungi menuntut suatu pengembangan kekuatan laut yang mampu memanfaatkan dan mengeksploitasi sifat laut diatas. Karena itulah kekuatan maritime dipandang strategis dan mempunyai akses yang lebih besar baik secara fisik maupun politik; lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan situasi.

Beranjak dari pemahaman tentang kekuatan dan kemampuan maritime di atas, doktrin Eka Sasana Jaya kemudian menjelaskan konsepsi Perang dan Konflik Bersenjata, Secara khusus doktrin ini menyatakan bahwa karena sifat khas laut, peperangan di laut bersifat lebih terbuka, bergerak secara bebas yang menuntut manuver lebih tinggi, medan tempur tidak statis, bias berubah secara cepat. Karena sifatnya pula, perang laut lebih banyak diikat oleh tidak hanya hukum humaniter internasional, melainkan juga oleh rezim hukum laut intemasional seperti ditentukan dalam UNCLOS yang mengandung aspek kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan luas laut yang yang menjadi tanggung jawab Indonesia sekitar 5.8 juta km persegi, maka wajar laut mempunyai makna penting. Secara politik laut melahirkan konsepsi tentang persatuan tidak hanya ke dalam, melainkan juga ke luar sebagaimana telah diakui oleh UNCLOS/l982. Laut juga menjadi media perhubungan (termasuk perdagangan) yang sangat vital. Kecenderungan ke depan justru akan menunjukkan makin pentingnya jalur-jalur perhubungan dan perdagangan laut sejalan dengan proses globalisasi. Laut juga mempunyai arti ekonomi yang besar karena kandungan sumber-sumber alamnya.

Dengan nilai-nilai penting laut itu dan pengalarnan sejarah, serta lingkungan strategis dan geografis, maka laut akan menjadi elemen penting bagi pertahanan Indonesia baik secara konsepsi dan cara pandang pertahanan (geopolitik dan geo strategis), perumusan kebijakan pertahanan, maupun kepentingan nasional yang harus dilindungi, terutama kepentingan nasional di dan lewat laut yaitu: keamanan di perairan wilayah jurisdiksi Indonesia; keamanan GPL dan ALKI; keamanan sumber alam di laut; perlindungan ekosistem atau lingkungan laut; stabilitas kawasan strategis yang berbatasan dengan negara tetangga; keamanan ZEE; dan peningkatan kemampuan industri untuk mendukung pertahanan negara di laut. Pandangan dan konsepsi tentang laut yang mempengaruhi kebijakan pertahanan dan kepentingan nasional di dan lewat laut membentuk fungsi dan peran Angkatan Laut yaitu peran militer (pertahanan negara dan penangkalan), peran polisionil; peran dukungan diplomasi; dan peran lain (MOOTW). Tetapi yang penting dalam doktrin ini adalah peran dan fungsi Angkatan Laut tersebut kemudian diterapkan dalam perlindungan kawasan-kawasan yang dianggap vital dari perspektif geopolitik dan geo strategis Indonesia yaitu SLOC, SLOT, GPL, dan ALKI.

Untuk itulah doktrin ini menegaskan perlunya pembangunan kekuatan dan kemampuan maritime dan secara khusus perlunya pembangunan kekuatan Angkatan Laut dengan focus pada: kemampuan pertahanan laut; kemampuan keamanan laut; kemampuan intelijen maritime; kemampuan angkutan laut militer; kemampuan survei; dsb. Semua itu ditujukan untuk tugas-tugas baik perang (dengan tugas penguasaan, pengendalian, dan penangkalan) maupun non perang.

Doktrin Angkatan Laut secara garis sudah sangat komprehensif baik dilihat dari konsepsi geopolitik dan geostrategis yang mendasari maupun secara operasional yang dijabarkan dalam berbagai bentuk kepentingan nasional nasional di laut dan perlunya pembangunan kemampuan angkatan laut untuk memperjuangkan kepentingan nasional tersebut. Menjadi persoalan adalah komitmen politik untuk memberikan prioritas dalam kebijakan pertahanan dan pembangunan kekuatan militer yang diwujudkan dalam bentuk bentuk pemenuhan kebutuhan anggaran.

Dasar pemikiran keuatan maritime bertitil tolak pada pemikiran rezim maritime, diataranya yang paling popular adal Alfred T Mahan dalam buku yang berjudul ”The Influence of Sea Powerupon History 1660-1753” terbit pada tahun 1890 menyebutkan betapapentingnya peran laut sebagai aspek kekuatan sebuah bangsa. Seiring dengan keterpanggilan pembangunan maritim Indonesia sesuai dengan kodrat penciptaannya maka untuk mewujudkan TNI AL yang memiliki kemampuan World Class Navy yang memiliki lompatan pemikiran kedepan harus melakukan revolusi paradigma maritim terhadap Character of the people dan Style of government serta harus diwujudkan dalam sebuah konsep doktrin maritim dan strategi militer maritim Indonesia. Doktrin maritim harus didukung dengan kebijakan politik yang berupa penerbitan undang-undang kemaritiman atau kelautan untuk mengikat semua komponen bangsa. Demikian pula apabila Indonesia akan melaksanakan transformasi dari status Negara berkembang menuju negara maju. Strategi maritim yang disusun harus mampu mengamankan aspirasi kepentingan nasional Indonesia yangmasih berstatus negara berkembang. Dalam 20 sd 30 tahun ke depan, bisa jadi status Indonesia telah meningkat menjadi negara maju sehingga aspirasinya mengalami perluasan dibandingkan saat ini. Perubahan itu akan diikuti pula strategi keamanan nasionalnya, termasuk pula strategi maritim dan strategi militer maritim yang disusunnya.

7.2. SistemKomunikasiSatelit TNIAL

Sejak 7 Desember 2015 Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Ade Supandi, S.E, MAP di Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) Surabaya meresmikan sistem komunikasi di lingkungan TNI AL dengan menggunakan sistem komunikasi satelit (Siskomsat). Penggunakan site mini merupakan langkah maju bagi Angkatan Laut dalam dunia informasi. Siskomsat TNI AL ini dapat berdiri karena berbasis bantuan Satelit Komunikasi BRISAT yang telah mengorbit pada bulan Oktober 2015. Siskomsat TNI AL ini direalisasikan dalam dua kegiatan yaitu Pengembangan Siskomsat TNI AL dengan Backbone C Band untuk pendirian darat dan Siskomsat TNI AL dengan Backbone Ku-Band untuk KRI. Pada tahapan pelaksanaannya TNI AL juga menjalin kerja sama dengan PT Telkom dan PT LEN dari tahap perencanaan teknis, tahap pengembangan software hingga pengadaan hardware-nya.

Dasar pemikiran Mabes TNI AL untuk menghadapiperang laut moderen, komunikasi sangat menentukan keberhasilan operasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menuntut pelaksanaan gelar operasi yang semakin kompleks dimana jaminan terjalinnya komunikasi yang lancar, aman dan dapat dipercaya merupakan suatu keharusan. Selama ini sistem komunikasi di lingkungan TNI, baik di darat maupun unsur kapal perang (KRI) yang menggunakan perangkat radio HF, VHF, dan UHF, memiliki keterbatasan dalam pengoperasiannya karena memiliki data rate rendah.

Dengan gelar Sistem Komunikasi Satelit (Siskomsat) TNI yang berada di bawah Komando Pengendalian Panglima TNI belum optimal diaplikasikan sebagian besar KRI karena dimensi Antena C-Band yang relatif cukup besar. Karena itu TNI AL mengambil peluang kesempatan dengan adanya alokasi satu transponder Ku-Band untuk TNI AL melalui Satelit Komunikasi BRISAT

Siskomsat TNI AL akan diaplikasikan untuk penugasan prajurit yang bertugas di pulau-pulau terluar, survellance, mobile trunking, dan backpack prajurit Korps Marinir. Untuk penggunaan surveillance atau pengamatan, Siskomsat dilengkapi dengan perangkat surveillance yang terdiri dari fasilitas radar, kamera, Automatic Identification System (AIS) transponder, PSTN dan E-mail. Sebagai Siskomsat mobile atau mobile trunking, kendaraan Siskomsat dilengkapi perangkat Very Short Aperture Terminal (VSAT) dan repeater, serta pada aplikasi bacpack untuk pasukan Korps Marinir, Siskomsat dilengkapi fasilitas e-mail, PSTN dan handy talky (HT) berbasis Internet Protocol (IP).

Siskomsat TNI AL dengan Backbone KU-Band diterapkan pada KRI dari unsur-unsur pemukul sehingga Komando dan Pengendalian Operasi bisa dilaksanakan secara langsung oleh pimpinan kepada unsur-unsur pelaku operasi.Siskomsat pada aplikasi KRI ini memiliki fasilitas berupa data, PSTN dan Visual Comunication (Vicom) serta dilengkapi dengan kamera, radar dan Automatic Identification System (AIS) Transponder.Tahun ini, Siskomsat dengan Backbone KU-Band dipasang di Multi Role Light Frigate KRI Usman Harun-359 dan korvet KRI Sultan Iskandar Muda-367.Aplikasi Siskomsat di pendirat dan KRI dari unsur pemukul diharapkan mampu meningkatkan performa operasi TNI Angkatan Laut yang berkelas dunia.

7.3. Radar Pantai sebagai alat Pendeteksi Lalu Lintas Kapal Laut

ISRA (Indonesian Sea Radar) merupakan radar pengawas pantai yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET-LIPI). Radar pengawas pantai PPET-LIPI menggunakan teknologi FMCW (Frequency Modulated Continous Wave) yang digunakan untuk mendeteksi dan mengukur jarak suatu kapal di lautan dengan menggunakan daya pancar yang rendah. Karena daya pancar yang rendah radar ISRA tidak menimbulkan radiasi yang besar sehingga tidak mengganggu perangkat elektronik lain di sekitarnya. Radar ini diperuntukkan untuk mengamati obyek kapal laut dengan tujuan membantu manajemen lalu lintas laut dengan mendeteksi keberadaan kapal laut.

Radar pengawas pantai ISRA digunakan untuk mendeteksi adanya suatuobyek misalnya kapal laut yang sedang beroperasi di perairan Indonesia. Obyek yang dideteksi tersebut dapat diketahui jenisnya berdasarkan informasi yang didapatkan oleh radar berupa karakteristik dari obyek tersebut. Pada radar, sebuah target ditandai dengan fungsi Radar Cross Section (RCS). Melalui Radar Cross Section dapat diperkirakan ukuran obyek yang dideteksi.

Gambar 6. Sistem Integrasi dalam Cara Kerja Radar Pantai

RCS merupakan ukuran obyek yang tertangkap oleh radar, walaupun berbeda dengan ukuran fisik yang sebenarnya. Hal ini karena RCS tidak hanya tergantung dari ukuran obyek saja tetapi juga dari bentuknya, materi obyek dan sudutnya terhadap sinyal radar. Oleh karena itu estimasi dan kalibrasi RCS pada radar merupakan aspek yang sangat penting untuk perkiraan akurasi informasi target. Prinsip Kerja Radar apapun memiliki kesamaan seperti pada Echo (gema) dan Efek Dopler.
a. Efek Echo dapat juga di sebut dengan proses gema. Echo dapat dicontohkan pada teriakan pada tebing gunung atau jurang yang akan menghasilkan gema beberapa saat kemudian. Gema terjadi karena adanya pantulan gelombang suara dari permukaan (dinding, tebing atau jurang) menuju ke indra pendengaran (telinga). Lamanya waktu antara saat berteriak dan saat mendengar gema ditentukan oleh jarak antara sumber suara dengan permukaan yang menciptakan echo. Cara kerja echo adalah sinyal gelombang mikro (microwave) akan dipancarkan oleh antena radar pada sasaran (objek), kemudian sasaran akan memantulkan kembali sinyal microwave kepada alat penerima dan sinyal listrik akan diteruskan oleh antena penerima.

 Gambar 7. Prinsip kerja Echo

b. Efek Dopler Efek doppler merupakan pergeseran sinyal/frekuensi yang diproduksi oleh target dimana perbedaan sinyal yang dipancarkan dan sinyal yang diterima akan dihitung. Efek dopler dapat dicontohkan dengan suara sirine ambulan yang mendekati objek (pendengar) yang sedang diam ditepi jalan, suara sirine makin keras, namun setelah melewati objek (pendengar) maka suara sirine semakin mengecil seiring semakin jauhnya jarak objek (pendengar) dengan mobil sirine. Terdengar keras lemahnya suara yang didengar tersebut bisa dikatakan sebagai pergeseran doppler atau efek Doppler.

Gambar 8. Efek Doppler

Secara sederhana komponen-komponen radar antara lain adalah:
a. Antena, berfungsi memancarkan gelombang elektromagnetika ke ruang bebas.
b. Transmitter, berfungsi untuk menghasilkan sinyal gelembang elektro magnetik untuk ditransmiskan ke antenna untuk diradiasikan ke udara bebas.
c. Receiverand processing (RP), berfungsi menerima sinyal echo dari obyek yang terkena gelombang elektromagnetik dan memproses sinyal tersebut, selanjutnya mengirim ke kabin operasi.
d. Display, berfungsi menampilkan hasil tangkapan Radar yang telah diterima dan diproses di RP.
e. Ancillaries, merupakan peralatan pelengkap seperti generator dan peralatan komunikasi.

Gambar 9. Skema Cara Kerja Radar

Prinsip kerja radar Transmitter dapat berupa oscillator, seperti magnetron,
dimana pulsa transmisi dihasilkan oleh modulator untuk membangkitkan deretan pulsa yang berulang. Sebuah radar yang digunakan untuk medeteksi pesawat pada jarak 100-200 NM, membutuhkan Peak Power 1 MW, Average power beberapa kilowatt, lebar pulsa beberapa ms, dan PRF (Pulse Repetition Frequency) beberapa ratus pulsa per detik. Bentuk gelombang dihasilkan oleh transmitter dan disalurkan melalui transmission line ke antena, untuk selanjtnya dipancarkan ke udara bebas. Radar membutuhkan satu buah antena saja untuk memancarkan dan menerima sinyal, yang dilengkapi dengan duplexer untuk melindungi dari kerusakan.

Duplexer mampu menerima sinyal yang diterima ke receiver, bukan menuju ke transmitter. Duplexer terdiri dari dua bagian, yaitu TR (Transmitt-Receive) dan ATR (Anti Transmitt-Receive). TR berfungsi untuk melindungi receiver selama pemancaran dan ATR meneruskan sinyal echo ke receiver selama penerimaan sinyal. Tahap pertama dapat berupa Low Noise RF Amplifier, seperti penguat parametrik atau rendah kebisingan transistor. Namun, menggunakan LNA yang pertama di radar tidak selalu diinginkan. Input penerima hanya dapat tahap mixer, terutama di radar militer yang harus beroperasi di lingkungan yang bising. Meskipun receiver dengan low-noise front-end akan lebih sensitif, input mixer dapat memiliki rentang yang lebih besar dinamis, berkurang kerentanannya terhadap overload, dan kurang kerentanan terhadap interferensi elektronik. Mixer dan Local Oscillator (LO) mengubah sinyal RF ke Intermediate Frequency (IF). Sebuah IF amplifier untuk radar surveillance 8 dapat memiliki pusat frekuensi 30 atau 60 MHz dan bandwidth satu megahertz. Jika penguat harus dirancang sebagai filter, yaitu, fungsi frekuensi-respon H(f) memaksimalkan puncak-sigtial-to-berarti-noise-daya rasio pada output.

Hal ini terjadi ketika besarnya frekuensi-respon fungsi H(f) sama dengan besarnya spektrum sinyal echo S(f), dan spektrum fase filter yang cocok adalah negatif dari spektrum fase sinyal echo. Dalam radar sinyal yang mendekati gelombang pulsa persegi panjang, konvensional jika karakteristik bandpass filter mendekati filter cocok ketika produk dari IF bandwidth B dan lebar pulsa p. Setelah memaksimalkan signal-to-noise rasio di IF amplifier, modulasi pulsa diekstraksi oleh detektor kedua dan diperkuat oleh video amplifier hingga ke tingkat puncak kemampuannya.

Kelebihan, Kekurangan dan Penerapan Radar
a. Kelebihan radar:
1) Dapat mendeteksi target yang berada ditempat yang sangat jauh
2) Dapat mengukur jangkauan dengan cepat dan teliti
3) Dapat bekerja ditempat gelap dan disegala cuaca dengan uap, asap, kabut dan sebagainya
4) Kecepatan relatif dari target dapat diukur.

b. Kekurangan radar:
1) Aspek resolusi yang terbatas, misalnya gambar mentah (raw video) yang mewakili sinyal yang kembali tidak mengindikasikan sudut target (target angle) dan sulit untuk membedakan obyek- obyek yang berdekatan.
2) Kadang-kadang sinyal yang kembali palsu.

c. Penerapan Radar di Indonesia. Pengamanan dan pengawasan wilayah NKRI yang terdiri dari kurang lebih 17.504 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Kemampuan TNI dan Polri untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Wilayah udara Indonesia (terutama di Indonesia timur) juga rawan akan penyusupan oleh pesawat udara asing.

Khusus untuk wilayah perairan, salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah NKRI adalah dengan menggunakan Radar pengawas pantai. Radar ini digunakan untuk mengawasi pergerakan kapal-kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan. Indonesia sangat memerlukan Radar pengawas pantai dalam jumlah yang banyak dan hal ini disebabkan oleh beberapa fakta berikut ini:
a. Jarak dari kota Sabang di NAD sampai kota Jayapura diPapua sekitar 5. 556 Km.
b. Jumlah kapal milik angkatan laut Indonesia adalah sekitar 117 buah dan 77 diantaranya berusia 21-60 tahun.
c. Perbandingan antara jumlah kapal terhadap total luas perairan Indonesia adalah sekitar 1:72 ribu mil persegi.
d. Sekitar 350 kapal patroli diperlukan untuk mencakup seluruh perairan Indonesia.

Adanya jaringan Radar ini memungkinkan seluruh wilayah perairan Indonesia dapat dipantau secara terus menerus. Beberapa radar yang diterapkan di Indonesia antara lain adalah system Airborne early warning (AEW) adalah sistem radar untuk mendeteksi pesawat terbang lain. Sistem radar ini sering digunakan untuk pertahanan dan penyerangan udara. Radar Gun dan Microdigicam radar merupakan contoh radar yang sering digunakan pihak kepolisian untuk mendeteksi kecepatan kendaraan bermotor di jalan. Sistem penerbangan di Indonesia juga memanfaatkan teknologi radar, yaitu Air traffic control (ATC). ATC adalah Kendali lalu lintas udara yang bertugas mengatur kelancaran lalulintas udara bagi pesawat terbang yang akan lepas landas, ketika terbang di udara maupun ketika akan mendarat serta 10 meberikan layanan informasi bagi pilot tentang cuaca, situasi dan kondisi Bandar.

Saat ini Indonesia butuh 800 radar pengawas Pantai untuk bisa memantau seluruh perairan di Indonesia. Radar yang ada selama ini diimpor dengan harga sangat mahal yakni 8 milyar rupiah hingga 10 milyar rupiah per unitnya. Dengan program LIPI ini Indonesia diharapkan mengurangi mengimpor produk luar.

Gambar 2.10 Antena Radar

ISRA ( Indonesian Sea Radar ada juga yang menyebutkan Indonesian Sea Radar). Radar ISRA berfungsi mengawasi lalu lintas laut sehingga dapat mencegah tindakan yang merugikan Negara, dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan. Dia Juga menambahkan bahwa radar tersebut mampu mendeteksi hingga jarak 64 km.

 Gambar 11. Instalasi Radar Pantai


Gambar 12. Radar Pantai di Monitor

ISRA menggunakan teknologi terbaru di bidang radar yakni FM-CW ( Frequency Modulated Continous Wave ), dengan teknologi ini ukuran dan konsumsi daya radar menjadi kecil, sedangkan sistemnya menggunakan komponen yang tersedia secara komersial. Frequensi kerja ISRA adalah pada pita X-band 9,4 Ghz dengan menggunakan dua antenna pemancar dan penerima yang bekerja bersamaan berbentuk modular serta mempunyai daya pancar maksimum 2 watt dengan penguatan (gain) antenna 30 dB. Agar penyimpanan data lebih aman dan dapat terkonekasi dengan berbagai pihak kepentingan, maka Radar Pantai dapat disalurkan welalui web.

Untuk mendukung kemampuan teknologi informasi TNI Angkatan Laut juga telah menggelar pelatihan Cyber Warfare tanggal 7 Juni 2016 di Mabesal, Cilangkap Jakarta Timur. Kegiatan latihan tersebut dibuka oleh Asisten Operasi (Asops) Kasal Laksamana Muda TNI I.N.G.N. Ary Atmaja, SE. Latihan tersebut bertujuan untuk menciptakan sekaligus menggali pengetahuan dan kemampuan personel pengawak sistem komputer dan jaringan internet dalam melaksanakan operasi cyber pada konteks pertahanan cyber TNI Angkatan Laut melalui ruang/media siber (cyberspace).

Latihan Cyber Warfare dipandang penting dalam rangka mengantar sekaligus memperkenalkan konsep peperangan di masa mendatang yaitu konsep peperangan domain kelima atau dikenal sebagai peperangan siber .TNI Angkatan Laut juga dituntut untuk mampu menyelenggarakan operasi siber dalam rangka peperangan siber sebagai wujud pertahanan siber angkatan laut. Materi yang diberikan dalam latihan selama 3 hari ini meliputi teori dan praktek antara lain pengenalan berbagai bentuk ancaman cyber, perkembangan dunia cyber serta latar belakang timbulnya konsep cyber security, cyber crime dan cyber defense, pengenalan konsep operasi cyber TNI AL dan pengenalan basic cyber war challenge serta dilaksanakan demonstrasi meretas sistem jaringan berbasis android.

Latihan tersebut untuk pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam rangka membangun pertahanan Siber TNI Angkatan Laut yang diikuti oleh 100 personil yang terdiri dari staf latihan, tim penasihat, peninjau, penilai dan evaluasi serta pelaku latihan yang berasal dari Mabesal, Koarmatim, Koarmabar, Kolinlamil, Kormar, Kobangdikal, AAL, dan Seskoal. Bertindak sebagai Direktur Latihan adalah Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data (Kadisinfolahta) Kolonel Laut (E) Ir. Nur Fahrudin. Harapan yang ingin dicapai TNI AL adalah terpeliharanya tingkat pengetahuan dan kemampuan personil pengawak sistem komputer dan jaringan internet, tercapainya tingkat kesiapan peralatan cyber TNI Angkatan Laut, terbinanya pola pikir dan pola tindak dalam penyelenggaraan cyber warfare serta terujinya konsep-konsep penyelenggaraan operasi cyber yang sesuai dengan perkembangan situasi di lapangan.

8. Pembahasan

8.1. Doktrin TNI sebagai dasar Pengembangan Doktrin TNI AL

Doktrin TNI belum mengenal operasi informasi sebagai strategi. Dengan demikian Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya belum memperlihatkan nomenklatur perang informasi. Kalau dilihat kerangka dasar Perang informasi perang informasi identik dengan tugas intelijen, walaupun intelijen bagian dari perang informasi. Memang sulit disetarakan karena memang perang informasi memilki dasar filosofis yang beda dengan intelijen. Dalam peperangan skala besar, adalah penting untuk memahami peran informasi dalam konflik ditingkat fungsional dasar. Pertimbangkan model satu-directional dasar konflikuntuk menggambarkan peran informasi dalam peperangan. (dua kombatan menggunakan elemen dasar ini). Model bisa berlaku untuk dua individu dalam konflik atau dua bangsa menyatakan berperang. Seorang penyerang, A, terlibat (B), yang harus menentukan bagaimana harus bertindak, atau bereaksi. Tujuan dari A adalah untuk mempengaruhi dan memaksa B untuk bertindak dengan cara menguntungkan untuk tujuan A. Ini adalah tujuan akhir dari setiap Perang. Diharapkan A menyebabkan lawan untuk bertindak dengan cara yang diinginkan: untuk menyerah, untuk berbuat salah atau gagal, untuk menarik pasukan, untuk berhenti dari permusuhan, dan sebagainya.

Penyerang mungkin menggunakan kekuatan atau pengaruh lain yang tersedia untuk mencapai tujuan ini. Pihak B mungkin membuat keputusan diketahui mendukung A (misalnya, untuk mengakui kekalahan dan menyerah) atau mungkin menjadi korban rayuan atau penipuan dan tanpa disadari membuat keputusan mendukung A.

Tiga faktor utama mempengaruhi keputusan dan tindakan yang menghasilkan B (atau reaksi) untuk menyerang A.
a. Kapasitas B untuk bertindak. Kemampuan B untuk merespon keinginan A dilihat dari faktor fisik, kemampuan untuk diperintah dan dipaksa B. Peperangan didasarkan pada premis bahwa degradasi kapasitas perang melawan B akhirnya akan menyebabkan B untuk membuat keputusan menyerah. Kapasitas tidak diukur tunggal; tapi banyak komponen, termasuk "pusat kekuatan sebagai gravitasi global", karakteristik strategis, kemampuan atau daerah dari mana kekuatan militer berasal, kebebasan tindakan, kekuatan dan kemauan untuk melawan.
b. Kehendak B. Kehendak untuk bertindak adalah faktor manusia, ukuran dari menyelesaikan atau penentuan pembuat keputusan manusia dari B dan kecenderungan mereka kepada tindakan alternatif. Elemen ini adalah yang paling sulit untukmenyerang, mengukur, model, atau langsung mempengaruhi. Kekuatan kehendak untuk mengambil tindakan dalam mencapai tujuan tujuan atau menyatakan mungkin melampaui "obyektif" kriteria keputusan. Dihadapkan keadaan tertentu masalah militer atau kekalahan ekonomi, kehendak pembuat keputusan dapat menekan, tidak peduli seberapa besar risiko, bereaksi dengan cara yang tidak rasional (dalam domain militer atau ekonomi).
c. Persepsi B. Pemahaman situasi dari perspektif dari B merupakan faktor informasi abstrak, diukur dalam hal tersebut sebagai akurasi, kelengkapan, kepercayaan atau ketidakpastian, dan ketepatan waktu. Keputusan B ditentukan oleh persepsi situasi (serangan A pada B) dan persepsi kapasitas B sendiri untuk bertindak. Berdasarkan persepsi tersebut, yang dirasakan tindakan alternatif yang tersedia dan hasil kemungkinan mereka, dan kemauan manusia keputusan pembuat, B merespon. Bagaimana kemudian A dapat memaksa B untuk bertindak dengan cara yang baik untuk tujuan A. Penyerang memiliki beberapa alternatif untuk mempengaruhi tindakan B, berdasarkan faktor-faktor ini. penyerang dapat langsung menyerang kapasitas B untuk bertindak. Ini mengurangi pilihan yang tersedia ke B, secara tidak langsung mempengaruhi kehendak B. Penyerang juga dapat mempengaruhi persepsi B tentang situasi (serangan terhadap Kapasitas pasti melakukan ini secara langsung, sementara serangan terhadap sensor dan komunikasi dapat mencapai hal ini secara tidak langsung); kendala untuk tindakan; atau mungkin hasil dari tindakan. Sementara penyerang tidak dapat langsung menyerang atau mengendalikan keinginan (will) dari B, kapasitas dan persepsi serangan kedua menyediakan sarana akses ke kehendak.

Sekarang dapat lebih lanjut detil model konflik untuk menggambarkan sarana yang A dapat mempengaruhi kapasitas B dan arus informasi yang memungkinkan B untuk memahami situasi konflik. Model rinci (Lihat Gambar 1.1) menyediakan arus informasi dari penyerang, A, di empat domain dengan keputusan dan tindakan B. Model ini akan memungkinkan kita untuk mengeksplorasi alternatif dengan A dapat mempengaruhi persepsi situasi B.

Pertama, domain fisik di mana kapasitas B untuk bertindak berada. Orang-orang,proses produksi, stok sumber daya, pembangkit energi, platform senjata,jalur komunikasi, dan komando dan kontrol kemampuan berada didomain fisik. Domain kedua adalah domain informasi, elektronikranah di mana B mengamati dunia, memonitor serangan A, langkah-langkah status pasukan nya sendiri, dan mengkomunikasikan laporan mengenai Lingkungan Hidup. Dalam domain berikutnya, satu persepsi, B menggabungkan dan analisis semua pengamatan untuk melihat atau menjadi berorientasi dengan situasi. Ini "Berorientasi" proses menilai tujuan, kemauan, dan kemampuan A. Hal ini juga membandingkan hasil layak reaksi itu dapat memilih, berdasarkan B Kapasitas sendiri, yang disediakan melalui proses observasi sebagai kekuatan melaporkan status mereka. Dalam domain ini, meskipun didukung oleh pengolahan elektronik dan proses visualisasi, pikiran manusia adalah elemen pusat yang komprehensif dan dalam situasi tingkat keyakinan yang dalam.

Hubungan A dan B dapat berhubungan dengan system komunikasi yang baik. Hubungan A secara internal harus memeliki system informasi yang solid. Dapat dipahami Indonesia Negara luas, namun dengan teknologi komunikasi bukan hambatan. Interoperability data link adalah cara menghubungkan satu lokasi ke lokasi lain untuk tujuan transmisi dan menerima informasi digital.

Gambar 13. Sistem Komunikasi Data Link

Hal ini juga dapat merujuk ke satu set majelis elektronik, yang terdiri dari pemancar dan penerima (dua buah peralatan terminal data) dan data sirkuit telekomunikasi interkoneksi. Ini diatur oleh protokol link memungkinkan data digital yang akan ditransfer dari sumber data ke wastafel data. Setidaknya ada tiga jenis konfigurasi data-link dasar yang dapat dipahami dan digunakan:
a. Komunikasi simpleks, yang paling umum yang berarti semua komunikasi satu arah saja.
b. Komunikasi half-duplex, yang berarti komunikasi di kedua arah, tetapi tidak kedua-duanya secara bersamaan.
c. Komunikasi duplex, komunikasi dua arah secara bersamaan.

Dalam penerbangan sipil, sistem data-link (dikenal sebagai Pengendali
Percontohan Data Link Communications) digunakan untuk mengirim informasi antara pesawat dan pesawat pengendali lalu lintas ketika sebuah pesawat terlalu jauh dari ATC untuk membuat komunikasi radio suara dan radar pengamatan. Sistem seperti ini digunakan untuk pesawat melintasi Samudera Atlantik dan Pasifik, diantaranya digunakan oleh Nav Kanada menggunakan lima digit data link nomor urut dikonfirmasi antara kontrol lalu lintas udara dan pilot pesawat sebelum pesawat hasil untuk menyeberangi lautan. Sistem ini menggunakan komputer manajemen penerbangan pesawat untuk mengirimkan lokasi, kecepatan dan ketinggian informasi tentang pesawat ke ATC. ATC kemudian dapat mengirim pesan ke pesawat mengenai perubahan yang diperlukan tentu saja.Pada pesawat tak berawak, kendaraan darat, kapal, dan pesawat ruang angkasa, data-link dua arah (full-duplex atau half-duplex) digunakan untuk mengirim sinyal kontrol, dan menerima telemetri.

Data Link berguna untuk mengklasifikasikan bit-bit data dalam suatu format. IEEE 802 membagi level ini pada Logical Link Control (LLC) dan lapisan Media Access Control (MAC). Dalam Model OSI meletakan Data Link antara lapisan fisik, berupa perangkat keras dengan lapisan Network. Kemudian padal level ini terjadi bentuk hubungan, apakah integrasi, interoperabiliti dan independensi. Dengan demikian pada level ini mengatur perangkat-perangkat jaringan:
a. Logical Link Control (LLC): link control logis mengacu pada fungsi yang diperlukan untuk pembentukan dan kontrol link logis antara perangkat lokal pada jaringan. Seperti disebutkan di atas, ini biasanya dianggap sebagai sublapisan DLL; menyediakan layanan ke lapisan jaringan di atasnya dan menyembunyikan sisa rincian lapisan data link untuk memungkinkan teknologi yang berbeda untuk bekerja secara lancar dengan lapisan yang lebih tinggi. Sebagian wilayah jaringan teknologi lokal menggunakan IEEE 802. 2 LLC protokol.
b. Media Access Control (MAC): ini mengacu pada prosedur yang digunakan oleh perangkat untuk mengontrol akses ke media jaringan. Karena banyak jaringan menggunakan medium bersama (seperti kabel jaringan tunggal, atau serangkaian kabel yang elektrik terhubung ke media virtual tunggal) itu perlu memiliki aturan untuk mengelola media untuk menghindari konflik. Sebagai contoh. Ethernet menggunakan metode CSMA / CD kontrol akses media, sementara Token Ring menggunakan token passing.
c. Data Framing: Lapisan data link bertanggung jawab atas enkapsulasi akhir dari pesan-tingkat yang lebih tinggi ke dalam frame yang dikirim melalui jaringan pada lapisan fisik.
d. Alamat: Data link layer adalah lapisan terendah dalam model OSI yang berkaitan dengan pengalamatan: label informasi dengan lokasi tujuan tertentu. Setiap perangkat pada jaringan memiliki nomor unik, biasanya disebut alamat hardware atau alamat MAC, yang digunakan oleh protokol lapisan data link untuk memastikan bahwa data yang dimaksudkan untuk mesin tertentu sampai ke benar
e. Kesalahan Deteksi dan Penanganan: Lapisan data link menangani kesalahan yang terjadi pada tingkat yang lebih rendah dari stack jaringan. Misalnya, bidang cyclic redundancy check (CRC) sering digunakan untuk memungkinkan stasiun menerima data untuk mendeteksi jika diterima dengan benar.

Gambar 2.14 Model OSI Data Link

Kemudian Data Link akan dilakukan pemodelan. Pemodelan adalah membangun cara baru dalam menyelesaian masalah, dalam hal ini adalah sistem informasi Pertahanan Negara. Pemodelan terkait dengan sistem. Ciri dari suatu system
a. Terdiri atas sekumpulan elemen
b. Terdapat interaksi dan interdependensi
c. Terdapat mekanisme umpanbalik.
d. Memiliki tujuan bersama
e. Terdapat hubungan antara lingkung.

GeneralSystemsTheory(GSS)merupakanpemikiran untuk pengembangan model teori sistem yang dasaranya terletak pada teori umum matematika murni dan teori disiplin tertentu. Studi tentang sistem dalam konteks ini lebih berorientasi pada pengenalan dan pengembangan sistem. Cybernatics berpikir kesisteman yang didasarkan pada ilmu pengendalian dan komunikasi pada hewan dan mesin. Konsep kotak hitam (black box) dan negative feedback yang dapat digunakan untuk memahami dan memperbaiki sistem komplek, seperti: teori otomatisasi, teori kontrol, terori keputusan dan teori informatika.

Dengan demikian TNI AL sesungguhnya memilki kapasitas untuk membangun system mendukung operasi informasi dengan personil dan perlatan yang ada. Dengan Pembinaan satuan, penggunaan satelit dalam mengembangkan system informasi terlihat TNI AL siap siaga dalam menghadapi Informations warfare.

8.2. Interoperabilitas sebagai Kapabilitas dalam Perang Informasi

Banyaknya data rahasia di masing-masing angkatan merupakan salah satu faktor mengapa integrasi tidak bisa dilaksanakan. Kerahasian data melahirkan budaya tertutup dalam setiap angkatan. Dapat dimaklumi TNI bertindak penuh dengan tipu dan muslihat sehingga data operasi merupakan rahasia, namun tidak menjadi alasan dalam membangun integrasi kekuatan agar masing-masing angkatan berada dalam sebuah komado dan control satuan atas, untuk itu diperlukan interoperabilitas. Artinya data mana yang bisa disampaikan ke satuan atas, data mana yang tidak. Demikian juga dengan satuan samping, data mana yang bisa disampaikan dan mana yang tidak, sehingga kalau digambarkan hubungan antara kapabilitas, jenis operasi dan jenis keputusan dapat digambarkan secara geometris;
a. Dimensi Tinggi; unsur Kapabilitas/kekuatan,
b. Dimensi Panjang; Jenis Operasi Informasi-Informasi dan,
c. Dimensi Lebar; level keputusan pimpinan dapat digambarkan secara geometris.

 Gambar 15. Hubungan Kapabilitas, Operasi dan Keputusan 

8.3. Perang Cyber salah satu Jenis Operasi Informasi

Cyber secara fisik hanya komputer, alat pintar dan dilihat kemampuan kerja lebih pintar dari manusia. Persoalannya bukan hanya alat tapi sudah menggeser eksistensi manusia ke dalam suatu ruang kesadaran. Komputer sesungguhnya tidak lagi dalam dimensi ruang fisik, untuk itu model koneksi mempengaruhi ruang kesadaran tersebut, ada beberapa model yang sedang berjalan;

a. Internet (Interconnected Network)
Internet merupakan koneksi elektronika dengan jaringan komputer bersifat global yang menghubungkan seluruh komputer di dunia walaupun berbeda system dan aplikasi operasionalnya. Teknologi komunikasi datanya terdiri dari berbagai model dan platform, namun dapat saling terhubung dengan protokol TCP/IP dan aplikasi berbasis web. Internet dapat disebut suatu jaringan telekomunikasi yang sangat luas meliputi seluruh dunia. Jaringan ini memungkinkan terjadinya komunikasi data antar berbagai tempat di dunia.

b. Intranet (Intra Network)
Intranet adalah sebuah jaringan komputer berbasis protokol TCP/IP seperti internet, hanya saja digunakan dalam internal perusahaan/ kantor, dengan aplikasi berbasis web dan teknologi komunikasi data seperti internet. Bagi intansi militer diperlukan intranet ini karena sebuah intranet tidak perlu sambungan luar ke internet untuk berfungsi secara benar, intranet menggunakan semua protokol TCP/ IP dan aplikasi-nya sehingga kita memiliki “private” network atau jaringan internal. Misalnya jaringan komunikasi yang memungkinkan terjadinya pertukaran data antara cabang dan kantor pusat Bank Mandiri. Pihak lain (publik) tidak dapat mengakses situs, data atau aplikasi yang dishare atau dipublikasi di jaringan intranet ini.

c. Ekstranet
Ekstranet merupakan jaringan komunikasi antar dua atau lebih institusi (perusahaan) untuk kepentingan bisnis tertentu. Komunikasi data menggunakan jaringan yang sama dengan internet, namun bersifat tertutup sehingga hanya yang berkepentingan saja yang dapat terhubung. Teknologinya menggunakan apa yang kita kenal dengan istilah VPN (Virtual Private Network), misalnya jaringan komunikasi antara perusahaan manufatur dengan perusahaan supplier (O’brien, 2007). Bisa dibilang ekstranet adalah keadaan dimana sebuah bada usaha/bisnis/ perusahaan yang mengekspose sebagian dari interal jaringannya ke komunitas luar. Biasanya tidak semua isi intranet dikeluarkan ke publik untuk menjadikan intranet sebagai ekstranet. Badan usaha atau perusahaan yang memiliki jaringan internal tersebut biasanya memblokir akses ke intranet mereka melalui router dan meletakkan firewall. Firewall adalah sebuah perangkat lunak/ perangkat keras yang mengatur akses seseorang ke dalam intranet atau akses user di dalam jaringan lokal ke jaringan di luar. Proteksi bisa dilakukan dengan berbagai parameter jaringan, apakah itu dari aplikasi, IP adress, nomor port, dll. Jika firewall diaktifkan maka akses dapat dikontrol sehingga kita hanya dapat mengakses sebagian saja dari intranet perusahaan tersebut.

d. Ethernet
Ethernet konsepnya sangat berbeda dengan ketiga konsep diatas. Ethernet adalah hardware, berupa card yang dipasang pada komputer agar komputer bisa terhubung dengan jaringan atau kabel LAN. Jadi ethernet merupakan salah satu alat (media komunikasi) yang dipasang di dalam CPU pada PCI slot. Ini berfungsi untuk menghubungkan kabel dalam jaringan dan memungkinkan terjadi koneksi internet, intranet, atau ekstranet.
8.4. KODIMP5 sebagai Kapabilitas Perang Informasi

Dalam menyusun strategi, perhitungan kekuatan terhadap kapabilitas sendiri dan perbandingan lawan, sangat menentukan. Dalam bahasa Inggris ada tiga istilah yang hampir sulit dibedakan antara ability, capability, dan capacity. Secara sederhana ability menunjuk pada kemampuan yang didapat melalui proses latihan, sedangkan capacity kemampuan dibawa sejak lahir, sedangkan kapabilitas menunjukan kapasitas atau potensi untuk melakukan atau mempengaruhi sesuatu. Studi ini menekankan pada kapabilitas berarti potensi yang dapat menentukan proses dalam mendapatkan informasi sampai pada terlaksananya suatu keputusan dan tindakan.

Ada beberapa model kapabilitas yang dapat dijadikan perbandingan.
a. Konstruksi Model Kanada dikenal dengan PRICIE, singkatan dari; Personel, Research & Development/Operation Reserch, Infrastructure & organisation, Concepts, doctrine, collective training, IT Infrastructure dan Equipment, supplies and services
b. Model Australia disebut Fundamental Inputs to Capability atau FIC, terdiri dari Organisation, Personnel, Collective Training, Major Systems, Supplies, Facilities, Support, Command and Management
c. Model Amerika dikonstruksikan dengan DOTMLP, singkatan dari Doctrine, Organization, Training and Education, Materiel, Leadership, People.
d. NATO mengkonruksi Model DOTMLPFI, standar untuk Doctrine, Organisation, Training, Materiel, Leadership, Personnel, Facilities, Interoperability.
e. Dalam Doktrin TNI, kapabilitas diartikan dengan kemampuan, dalam hal ini menyangkut kemampuan Intelijen, Operasional, Personil, Logistik, Komunikasi dan Pendukung Lainnya. Dalam penelitian ini dengan melihat doktrin Negara lain dan doktrin yang ada, dan dihadapkan dengan pola operasi informasi-informasi peneliti mengajukan pendekatan; KODIM-P5, merupakan singkatan dari; Kepemimpinan, Organisasi, Doktrin, Interoperability, Masyarakat, Personil, Peralatan, Pelatihan, Pendukung invisibility, Penelitian dan Pengembangan.

9. Simpulan dan Saran

9.1. Simpulan

Konsep Operasional Interoperability data link Pertahanan Negara sudah mulai tergambar pada program TNI AL untuk menyiapkan pasukan cyber. Karena konsep interoperability data link sebagai bagian dari upaya mendukung informations operation belum ada dalam Doktrin TNI AL, maka pelatihan atau kegiatan yang ada masih diluar konteks informations operation. Untuk itu konsep operasi dan budaya organisasi TNI AL merupakan kendala dalam membagun integrasi sistem informasi pertahanan negara secara menyeluruh. Konsep operasi TIN AL tercermin dalam Doktrin TNI AL dan turunannya, memang telah memiliki semangat untuk menghadapi information warfare melalui informations operation karena kepala Staf Angkatan Laut telah mengadakan pelatihan cyber warfare dan potensi fisik seperti radar pantai. Konsep Informations Operation diartikan dengan operasi-operasi dengan berbagai system terintegrasi. Karena banyak system operasi TNI AL bagaimana pun perlu data, banyak personil terlibat dan banyak dukungan, termasuk radar pantai, termasuk awak nelayan dan masyarakat pantai sehingga dapat menjadi sumber data dan informasi menjadi pengetahuan yang tepat dalam melahirkan keputusan pimpinan, terutama Kasal. Radar Pantai TNI AL dapat diaplikasikan dalam Operasi Informasi Interoperability data link Pertahanan Negara, namun perlu regulasi yang komprehensif, sehingga dapat dirumuskan dalam bentuk model data dan model proses data dalam konteks perang informasi sehingga memungkinkan dapat diaplikasikan dalam bentuk semantik web. Setiap data baik yang didapat melaui eksternal maupun internal di lingkungan satuan TNI AL, dapat diklasifikasi berdasarkan tingkat kerahasian menurut masing-masing angkatan. Persepsi klasifikasi kerahasiaan tiap angkatan berbeda-beda, bahkan setiap sub Satuan Kerja dalam angkatan juga berbeda-beda. Untuk menjaga otoritas tiap angkatan, menjaga hubungan koordinasi tiap angkatan, serta mengurangi kecurigaan antar angkatan perlu peraturan khusus, misalnya Peraturan Presiden selaku Panglima Tertinggi dan diturunkan menjadi Keputusan Kasal. Pemodelan data agar dapat disusun dan diberi kode menurut ontologi semantik web sehingga dapat dimanfaatkan pada saat dibutuhkan, kapan pun dan di mana pun, kalau ada koneksi internet. Untuk menjamin transfer data dalam rangka mendukung keputusan Pimpinan TNI, ada tiga model interoperabiliti yang mungkin dilakukan oleh TNI, yaitu Interoperabiliti (tutup buka) tergantung pada situasi, Interoperabiliti (tutup buka) tergantung pada urgensi, dan data yang bersifat operasional dan taktis non struktural yang bersifat integrasi.

Budaya organisasi TNI cenderung mendukung penggunaan teknologi yang berkembang seterti penggunaan satelit BRISAT walaupun belum dapat disetarakan dengan informations warfare, atau informations operation sebagaimana konsep aslinya. Doktrin TNI AL fokus pada menjaga kedaulatan di laut yang dimaknai dengan upaya mempertahanankan wilayah laut sehingga radar pantai sebagai bagian pengamanan laut, sangat bermanfaat untuk pengamatan pantai secara statis. Dengan melihat kemampuan radar pantai yang dikembangkan dan digunakan TNI AL, datanya dapat diolah dan disalurkan melalui web sehingga dapat menyentuh operasi informasi- informasi terutama dalam meningkatkan capability C4iSR/K4IPP TNI. Budaya organisasi TNI AL terlihat dalam tradisi pembinaan kekuatan.

Interoperability data link sebagai bagian dari Sistem Informasi Pertahanan Negara mestinya masuk dalam Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara, karena interoperability data link menghubungan satu bagian dengan yang lain dalam batas tempo dan atau subjek tertentu. Akan tetapi mengingat struktur hukum yang mengatur keberadaan TNI dan Departemen Pertahanan pada level Undang-undang, maka Sistem Informasi Pertahanan Negara perlu diatur dalam bentuk sebuah Undang- undang khusus sehingga akan efektif dalam membangun interoperabiliti dan integrasi sistem informasi antar dan inter-angkatan Angkatan Laut dan ekseteral, yaitu Komponen Pendukung dan Komponen Cadangannya.

9.2. Saran
a. TNI AL Mabes Angkatan Laut dapat terus meningkatkan kemampuan integrasi sistem informasi pertahanan negara diawali dengan merevisi doktrin dan merubah budaya organisasi. Akan tetapi, ada kemungkinan akan mengalami kendala struktural sehingga pengajuan amandemen UU TNI menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu secara bertahap Kasal dapat mendorong perubahan UU TNI dengan menambahkan klausul “operasi informasi-informasi” masuk sebagai bagian dari tugas Pokok TNI AL operasi militer selain perang” dalam rangka memaknai Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dalam UUD 1945.

b. Untuk masalah budaya organisasi yang mengandung banyak kerahasiaan yang tidak jelas, Kasal dapat melakukan intervensi terhadap satuan bawah agar taat hukum dan norma-norma kemasyarakatan yang berkembang dan menggunakan teknologi informasi yang memiliki kemampuan interoperability data link. Agar TNI AL dapat menguasai teknologi informasi level enterpries dalam standar Levels of Information System Interoperability (LISI), Kasal perlu menyiapkan kemampuan sumberdaya manusia pada level unified, jika tidak TNI AL akan membutuhkan personil sipil diluar TNI AL, karena perkembangan teknologi dan perubahan tren perang informasi menuntut aplikasi secara bersama dalam web sehingga system informasi mampu membentuk integrasi, interoperability dan independen data.

c. Kemeneterian Pertahanan dan semua pihak perlu mendukung Pembentukan RUU Sistem Informasi Pertahanan Negara. Kasal dapat merevisi Doktrin TNI AL agar memasukan informations operation sebagai tugas pokok TNI dalam konteks OMSP. Kemhan dapat melakukan pengadaan Aplikasi Sistem Informasi dan Pengadaan Personil secara terpusat. Kasal Mendukung ketersediaan data untuk Interoperability Data Link Pertahanan Negara. Manajemen TNI AL, disatu sisi bersifat teknis dan mengatur kedalam lanjutan dari Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan pada sisi lain Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sebagai payung hukum pengadaan dan dukungan keuangan dan manajerial. Menteri Pertahanan diharapkan bisa meninjau kembali efektifitas Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Sistem Informasi Pertahanan Negara, yang walaupun disatu sisi memiliki kekuatan untuk perencanaan anggaran namun dalam prakteknya tidak mampu menerobos perbedaan system operasi dan tradisi manajeman TNI. Universitas Pertahanan dapat mengembangkan studi Sistem Informasi yang dititik beratkan pada Program Studi Peperangan Asimetris dan Teknologi Informasi pada Program Studi Industri Pertahanan.

DAFTAR PUSTAKA

Anandarajan, A (Editors) e-Research Collaboration Theory, Techniques and Challenges, Springer Heidelberg Dordrecht London New York, 2010

Ablameyko, Sergey (ed.), Limitations and Future Trends in Neural Computation, Amsterdam, Berlin, Oxford, Tokyo, Washington, DC Published in cooperation with NATO Scientific Affairs Division, 2003

Akers, Daniel (Ed.), Understanding Voice and Data Link Networking, Northrop Grumman’s Guide to Secure Tactical Data Link, Grumman, Northrop Distributed, San Diego, 2014

Armistead, Leigh (ed.). Information Operation Warfare and The Hard Reality of Soft Power, (ISBN-13 978-1574886993),Brassey ’is Inc. Virginia, 2004

Arwin D.W, Sumaridan, Adang S. Ahmad, Information Fusion System for Supporting Decision Making (a Case Study on Military Operation), ITB Journal of Information and Communication Technology, Vol. 2, No.1, May, 2008

Chan, Yupo, John R. Talburt, Terry M. Talley (ed.) Data Engineering, Mining, Information and Intelligence, Springer New York Dordrecht Heidelberg London, 2010

COBIT 4.1, Framework Control Objectives Management Guidelines Maturity Model, IT Governance Institute, 3701 Algonquin Road, Suite 1010, Rolling Meadows, IL 60008 USA, 2001

Cobit 5, A Business Framework for the Governance and Management of Enterprise IT Personal Copy of: Anne Milkovich, CGEIT

Data Link Layer Recommended Standard CCSDS 211. 0-B-5 Committee for Space Data Systems (CCSDS), Recommendation for Space Data System Standards Proximity-1 Space Link Protocol, Blue Book December 2013

David T. Signori, Jr., and Stuart H. Starr, “The Mission Oriented Approach to NATO C2 Planning,” SIGNAL, pp 119 – 127, September 1987.

Division on Engineering and Physical Sciences National Research Council, Cybersecurity Today and Tomorrow, Division on Engineering and Physical Sciences , Academy Press Washington. D.C, 2002

Fenton, R.PerformanceAssessmentSystemDevelopment.Educational Research Journal, Alaska, 1996

European Telecommunications Standards Institute (ETSI) TSI TS 103 097 V1.2. 1, Intelligent Transport Systems (ITS); Security; Security header and certificate formats,2015

European Telecommunications Standards Institute (ETSI), Interoperability Best Practices, Solve the Challenge of Interoperability www. etsi. org, 2016.

Pattavina, Achille, Switching Theory Architectures and Performance in Broadband ATM Networks Politecnico di Milano, Italy JOHN WILEY & SONS Chichester New York Weinheim Brisbane Singapore Toronto, 1998

Franklin D. Kramer, Stuart H. Starr, and Larry K. Wentz, (ed.) Cyberpower and National Security, Center for Technology and National Security Policy National Defense University, ISO27001 A Pocket Guide, Governance Publishisting, 2008

John M. Artz, The Fundamentals of Metric Driven Data Warehouse Design, George Washington University, http://home.gwu.edu/~ jartz/books/ DWDesign. pdf

Joint Cief of Staff, Information Operation, Joint Publication 3 13, 2014

J.E. Freeman and S. H. Starr, “Use of Simulation in the Evaluation of the IFFN Process”, AGARD Conference Proceedings No. 268 (“Modeling and Simulation of Avionics Systems and C3 Systems”), Paris, France, paper 25, 15 – 19 October 1979.

Kasunic, Markand, and William Anderson, Measuring Systems Interoperability: Challenges and Opportunities, Unlimited distribution subject to the copyright. Technical Note CMU/SEI-2004-TN-003 April 2004.

Kott, Alexander, Information Warfare and Organizational Decision-Making, Artech House, Inc. 685 Canton Street, Norwood, MA, 2007.

Kuhl, F.S, Weatherly, R.W dan Dahmann, J.S., “Creating Computer Simulation Systems:AnIntroductiontotheHighLevelArchitecture”,Prentice Hall,2000.

K. T. Hoegberg, “Toward a NATO C3 Master Plan,” SIGNAL, October 1985. Proceedings of Simulation Technology (SIMTECH) 2007, MORS, 1998.

Larson, Eric V. (ed.), Assessing Irregular Warfare A Framework for Intelligence Analysis Brian Nichiporuk, Prepared for the US Army Approved for public release; distribution unlimited, RAND Corporation 1776 Main Street, P. O. Box 2138, Santa Monica, CA, 2007.

Lazarinis, Fotis (ed.), Handbook of Research on E-Learning Standards and Interoperability: Frameworks and Issues, Information science reference, Hershey, New York, 2011.

Liou, Fank W, Rapid Prototyping and Engineering Applications, a Toolbox for Prototype Development Mechanical Engineering a Series of Textbooks and Reference Books Founding Editor

L. L. Faulkner, Columbus Division, Battelle Memorial Institute and Department of Mechanical Engineering The Ohio State University Columbus, Ohio, 2008.

Martin,James William,MeasuringandImprovingPerformanceInformationTechnology Applications in Lean Systems, CRC Press, London New York, 2010.

Mauroux, Philippe Cudré, Emergent Semantics Interoperability In Large- Scale Decentralized Information Systems, Epfl Press, A Swiss Academic Publisher, 2008.

McFarlane, Nigel, Rapid Application Development with Mozilla, Prentice Hall, Professional Technical Reference Upper Saddle River, NJ 07458.

Otter, Martine, Guide Des, Certifications SI Comparatif, Analyse Et TendancesItil, Cobit, Iso 27001, Escm.

Russ Richards, “MORS Workshop on Analyzing C4ISR in 2010”, PHALANX, Vol. 32, No. 2, p 10, June 1999.

Randi R dan Riant Nugroho, Manajemen Pemberdayaan (Jakarta: 2007, Elek Media Komputindo) hal. 103-104.

Ramachandran, Muthu, Engineering for Software Development Life Cycles: Support Technologies and Applications, Leeds Metropolitan University, UK Knowledge, 2011.

Ricki Sweet, et al, “The Modular Command and Control Evaluation Structure (MCES): Applications of and Expansion to C3 Architectural Evaluation”, Naval Postgraduate School, September 1986.

Sapsford, Roger and Victor Jupp, Data Collection And Analysis, Sage Publications, London Thousand Oaks New Delhi, The Open University, 2006.

Sidharta, Lani, 1995. Pengantar Sistem Informasi Bisnis, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Bab 2 | Sistem Informasi TNI AL dalam Rangka Interoperability Data Link Pertahanan Negara 81

Schneider, John R. , Resolving Tactical Network Management Interoperability by Using Ontology, http://www.jhuapl.edu/techdigest/TD/ td3301/33_01-Schneider.

Swanson, Richard A., Analysis for Improving Performance Tools for Diagnosing Organizations and Documenting Workplace Expertise, Second Edition, Revised and Expanded, Berrett-Koehler Publishers, Inc. 235 Montgomery Street, Suite 650, San Francisco, California, 2007

Tang Christopher S., Chung-PiawTeo, Kwok-Kee Wei, Supply Chain Analysis A Handbook on the Interaction of Information, System and Optimization , Springer New York Dordrecht Heidelberg London, 2008.

Thomas J. Pawlowski III, et al, C3IEW Measures of Effectiveness Workshop, Final Report, Military Operations Research Society (MORS), Fort Leavenworth, Kansas, 20 - 23 October 1993.

Tim Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Panduan Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi bagi Penyelenggara Pelayanan Publik, , Edisi: 2. 0,September 2011.

Thurstone, L.L. ,The Vectors of Mind, The Psychological Review, Vol. 41 No. I, The University Chicago, 1934.

Turban, Efraim., McClean, Ephraim. Wetherbe. James, Information Technology for Management Making Coinnections for Strategis Advantage. 2nd Edition, John Wiley &Sons.Inc, 1999.

TNI AL , Doktrin Swa Bhuwana Paksa tahun 2007
, Surat Keputusan Kasal nomor Skep/133/VII/2005 tentang Operasi Informasi dalam bentuk Naskah Sementara Buku Petunjuk Pelaksana (Bujuklak).

USA, Depatement of Defense, National Defense Strategy, 2008.
U.S. House of Representatives, Systems Development Life-Cycle Policy, Final
3/24/99.

Nanang Martono, Metode Penelitian kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data
Sekunder, (Jakarta: 2010, Raja Grafindo Persada) hal. 57.
NATO Code of Best Practice (COBP) on the Assessment of C2, RTO Technical Report 9, AC/323(SAS)TP/4 (Hull, Que. : Communication Group, Inc. , March 1999).
NATO Code of Best Practice (COBP) on the Assessment of C2, SAS-026, Reprinted by CCRP, Revised 2002.

Nigel McFarlane, Rapid Application Development with Mozilla, Prentice Hall Professional Technical Reference, Upper Saddle River, NJ 07458, www. phptr.com.

O’brien, Introduction to Information System, Mc. Graw Hill, 2007. Pressman, Roger S. Software Engineering A Practitioner’ S Approach, Seventh
Edition Hight Education, Boston Toronto, 2010.

Prosseding, International Seminar ,Meraih Keunggulan Nasional di Bidang
Teknologi Pertahanan, Unhan-SAAB, Desember 2015.

Sylvain Hellegouarch, Cherry Py Essentials Rapid Python Web Application Development Design, develop, test, and deploy your Python web applications easily, Published by Packt Publishing Ltd. 32 Lincoln Road Olton Birmingham, B27 6PA, UK, 2007.

Veer, Hans van der (Alcatel-Lucent), TSI White Paper No. 3 Achieving Technical Interoperability - the ETSI ApproachAuthors: Anthony Wiles (ETSI Secretariat, 2008.

Wagner, J.A, III. Studies of individualism-collectivism: Effects on cooperation in groups. Academy of Management Journal, 38, 1995 p. 152–172.

Welch, Major General Jasper A. Jr., “Command and Control Simulation – A Common Thread”, Key Note Address, AGARD Conference Proceedings No.268 (“Modeling and Simulation of Avionics Systems and C3 Systems”), Paris, France, 15 – 19 October 1979.

Whaley, Barton Stratagem Deception and Surprise in War, Published by Artech House 685 Canton Street, Norwood, MA, 2007

Zielinski, Krzysztof, New Developments In Distributed Applications And Interoperable Systems, Kluwer Academic Publishers, New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow, 2001

Zhao, Yaoyao (ed), Information Modeling for Interoperable Dimensional Metrology, Springer, Verlag London, 2001.

Comments